Inilah daftar lagu yang kami nyanyikan waktu itu.
Tapi sepanjang ingatanku, upaya memupuk nasionalisme tak kurang-kurang waktu itu:
- Indonesia Pusaka
- Bagimu Negeri
- Berkibarlah Benderaku
- Maju Tak Gentar
- Garuda Pancasila
- Satu Nusa Satu Bangsa
- Rayuan Pulau Kelapa
- Dari Sabang Sampai Merauke
Lha, kok gak ada lagu kebangsaan "Indonesia Raya"? Adalah, setiap hari Senin.
Mau tahu bagaimana caranya kami bisa hafal lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu wajib nasional?Â
Guru-guru kami -- satu kelas satu guru (pkus guru agama) -- mengajarkannya di kelas. Tanpa notasi. Cuma tulis syair di papan tulis. Lalu guru menyanyikan satu per satu baris. Murid menirukannya. Beres, satu lagu satu jam pelajaran.
Untuk melancarkannya, kami terbiasa mengulang-ulangnya sebubar kelas. Entah itu di jalan pulang, saat menghalau burung pipit di sawah, atau saat duduk di punggung kerbau.
Gak usah tanya bagaimana presisi pitch, nada dan tempo. Yang penting, nawaitu dan semangatnya.
Perkara saat bernyanyi di galaman sekolah ada beberapa murid yang nadanya out of tune, melenting sendiri, atau temponya memburu seolah sedang lomba lari 100 meter, yah, biarkan saja. Itu dianggap sebagai cerminan Bhinneka Tunggal Ika.
Tapi tak hanya lagu kebangsaan dan lagu wajib nasional. Upacara di halaman sekolah selalu ditutup dengan lagu gereja dan doa (HKBP).
Doanya pendek, sangat sahaja. "Metmet ahu on, bahen ias rohakkon. Sasada Ho Jesus, donganku tongtong." Aku ini anak kecil, jadikanlah hatiku bersih. Kau satu-satunya Yesus, temanku selalu.
Kalau lagu-lagu wajib nasional membangun jiwa nasionalisme, maka lagu gereja dan doa untuk membangun religiositas. Religiositas itu menghaluskan nasionalisme.