Ketiga, adakah pasal dalam UU Desa yang berpotensi memperlebar kesenjangan sosial ekonomi di pedesaan? Masih menjadi pertanyaan apakah manfaat dana desa terbagi secara adil kepada seluruh warga desa.
Jika warga desa tidak mengajukan PUU atas satu dua pasal pada tiga UU tersebut, maka jelas itu bukan karena tak ada masalah. Diam tak berarti beres.
Ada  dua alasan di balik diamnya orang desa.
Pertama, mereka tidak paham UU Pokok Agraria, UU Budidaya Pertanian, dan UU Desa, sehingga tak paham dampak negatifnya bagi mereka.
Kedua, andai mereka paham maka mereka tidak punya kemampuan (pengetahuan dan teknis) untuk mengajukan perkara PUU kepada MK.
Lantas apakah MK hanya akan berdiam diri? Duduk saja menunggu orang desa datang mengajukan PUU? Itu sama saja seperti menunggu Godot.
Sebaiknya MK proaktif mendatangi orang desa. Mengidentifikasi bersama mereka pasal-pasal UU yang merugikan kepentingan orang desa. Kemudian secara bersama juga melihat kemungkinan pengujiannya terhadap UUD 1945.Â
Pendekatan semacam itu akan membawa MK turun ke "akar rumput". Â Sebab jika rakyat desa tak mampu menjangkau MK, maka selayaknya MK sendirilah yang harus menjangkau rakyat desa. Tentu dengan membentuk perangkat khusus untuk keperluan itu.
Cukuplah 20 tahun lamanya MK terperangkap dalam gejala elitisme. Memasuki usia 21 tahun dan seterusnya, MK harus menjangkau kepentingan "akar rumput", khususnya warga desa Indonesia.
Dengan cara itu MK hadir untuk seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Hanya bila sudah demikian, barulah kita bisa punya dasar untuk bicara tentang peradaban konstitusi. (eFTe)
Â