Coba tanya 10 orang warga desa tentang apa itu Mahkamah Konstitusi. Sudah bagus jika ada 1 dari 10 orang itu bisa menjawabnya.Â
Atau, lebih ekstrim lagi, sudah bagus jika 2 dari 10 orang itu pernah mendengar nama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Pertanyaan dan jawaban hipotetis di atas hanya untuk menunjukkan gejala elitisme Mahkamah Konstitusi Republik Indomesia (MKRI/MK) sepanjang 20 tahun usianya.
Bicara tentang aparat hukum, warga desa hanya tahu tentang polisi kecamatan (Polsek) dan kabupaten (Polres), serta jaksa (Kajari) dan hakim  (Pengadilan Negeri) di kabupaten.Â
Itu adalah aparat dan institusi yang dalam persepsi para warga desa akan menangkap, menuntut, dan mengadili jika mereka melakukan pelanggaran hukum.
Sering proses itu berujung pada gagalnya pemenuhan rasa keadilan bagi mereka yang menganggap diri lapisan bawah. Lalu timbullah keluhan klasik "hukum tumpul ke atas tajam ke bawah".Â
Maksudnya, berdasar pengalaman mereka, hukum cenderung memihak kepentingan minoritas elite politik dan ekonomi. Sedangkan kepentingan mayoritas warga biasa cenderung dikorbankan.
Memang tak selalu begitu pada prakteknya. Tapi tak bisa dipungkiri seperti itulah persepsi umum orang desa tentang hukum. Mereka cenderung melihat hukum sebagai hal negatif, menyusahkan.Â
Apakah kesadaran hukum orang desa akan dibiarkan berhenti sebatas itu? Seharusnya, tidak. Sebab hal itu akan mengukuhkan persepsi negatif dan bahkan ketakutan warga pedesaan terhadap hukum.
***