Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Memutus Duapuluh Tahun Elitisme Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

23 Juli 2023   23:52 Diperbarui: 23 Juli 2023   23:53 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi suasana sidang Mahkamah Konstitusi RI  (Foto:ANTARA FOTO/HAFIDZ MUBARAK/kompas.com) 

Warga desa umumnya  tidak tahu ada MK yang bisa memfasilitasi mereka menggugat pasal-pasal hukum, atau secara khusus undang-undang, yang dinilai merugikan atau tak menjamin keadilan bagi mereka.

Ketaktahuan yang sebenarnya sudah dapat diprediksi dari awal, sejak Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK diundangkan dan MK dibentuk (2003).

Undang-Undang Nomot 24/2003 itu telah menempatkan MK pada posisi elitis, jauh dari rakyat desa, karena dua alasan berikut.

Pertama, MK berkedudukan di Ibukota Negara, sekarang Jakarta (Pasal 3 UU 24/2003). Implikasinya, MK hanya mungkin diakses oleh elite politik dan elite sosial yang memiliki relasi-relasi kuasa (power relationship) dengan lembaga-lembaga pemerintah pusat di Jakarta. Orang desa tak punya relasi-relasi kuasa semacam itu.

Kedua, empat kekuasaan MK yaitu pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (PUU), memutus sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN), memutus pembubaran parpol, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) dan pilkada (PHPKADA) (Pasal 10  UU 24/2003) juga mencerminkan elitisme. 

Pemohon untuk PUU mempersyaratkan pemahaman terhadap UU dan UUD 1945. Hanya elite politik dan sosial-ekonomi yang paham hal tersebut. Bukan warga biasa di pedesaan. 

Sedangkan pemohon untuk SKLN pastilah elite penguasa di lembaga pemerintahan. 

Sementara pemohon terkait pembubaran parpol, PHPU, dan PHPKADA pastilah elite politik atau elite parpol.

Data rekapitulasi putusan MK 2003-2023 mencerminkan elitisme itu. Dikutip dari situs mkri.id, total putusan PUU adalah 1,665 perkara (47.45%) dan total putusan gabungan SKLN, PHPU, dan PHPKADA  1.841 perkara (52.51%). Artinya mayoritas pemohon adalah elite pemerintah dan politisi/partai.

Mayoritas pemohon perkara PUU juga mestinya adalah elite sosial/ekonomi/politik yang tinggal di perkotaan. Sebab pengajuan perkara PUU mempersyaratkan pemahaman memadai atas UU dan UUD 1945.

Data MK menunjukkan dari 1,665 perkara selama 20 tahun kerja, hanya 303 perkara (18.20%) yang dikabulkan (196 dikabulkan sebagian: 196, dikabulkan penuh: 107). Lainnya ditolak, tak dapat diterima, ditarik kembali, gugur, dan di luar wewenang (lihat grafik).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun