Fakta mayoritas perkara PUU (81.80%) tidak dikabulkan MK dengan berbagai alasan, jelas mencerminkan tingginya tingkat kerumitan pengajuan perkara PUU. Sehingga kecil kemungkinan orang desa mampu mengajukan PUU terkait misalnya UU Pokok Agraria, UU Desa, dan UU Budidaya Pertanian. Kecuali mereka difasilitasi oleh LSM atau LBH.Â
Argumen dan data di atas telah memberi indikasi elitisme MK sepanjang 20 tahun usianya. Masalah itu jelas tak boleh dibiarkan mengingat MK hadir bukan hanya untuk kepentingan kelompok elite. MK hadir untuk semua lapisan masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat pedesaan.
***
Jika ada orang yang berargumen bahwa pengajuan perkara PUU oleh kelompok elite adalah demi kepentingan rakyat Indonesia, maka dia sedang berpikir elitis.
Tujuan kelompok elite mengajukan perkara PUU pertama-tama adalah demi kepentingannya sendiri. Penyebutan kepentingan umum atau masyarakat hanyalah dalih penguat. Sebab masyarakat tak pernah ditanyai soal kepentingannya.
Sekurangnya ada tiga undang-undang terkait langsung pada kepentingan rakyat desa yaitu UU Pokok Agraria (UU Nomor 5/1960), UU Budidaya Pertanian (UU Nomor 12/2012), dan UU Desa (UU Nomor 6/2016)
Tapi rakyat desa sendiri pasti tak pernah membaca undang-undang tersebut. Karena itu mereka juga tidak paham apakah ada pasal-pasal dalam tiga UU tersebut yang merugikan kepentingan mereka.
Tiga pertanyaan pokok berikut bisa menjadi pintu masuk untuk menguji ketidak-tahuan warga desa itu.
Pertama, adakah pasal dalam UU Pokok Agraria yang berpotensi menyebabkan warga desa kehilangan hak atas tanahnya? Ingat, sengketa agraria tak putus-putusnya terjadi di pedesaan.
Kedua, adakah pasal dalam UU Budidaya Pertanian yang berpotensi merampas otonomi petani dalam keputusan pilihan budidaya? Ingat, ada pemulia benih tanaman pangan yang dihukum secara pidana.