Di mata murid-murid SD Hutabolon, Guru Gayus itu semacam tuhan yang kasat mata. Â Sebab dia bisa mengetahui apa yang tak dilihat atau didengarnya. Seakan di tengkuknya ada sepasang mata gaib, dan kedua punggung telapak tangannya terdapat telinga transparan.
"Poltak. Â Kau bisa semua ulangannya, kan?" Â tanya Berta selepas ujian vak terakhir, Bahasa Indonesia, pada hari Jumat.
"Bisalah kujawab semua, Berta. Tapi pasti tak benar semua."
"Pasti lebih banyak jawaban yang benar, kan?"
"Kuharap begitu. Kau juga kuharap begitu, Berta."
Keduanya bertukar senyum. Â Sekalian berbagi harapan, semoga sama-sama lulus Sekolah Dasar.Â
Tak hanya Poltak dan Berta yang berharap begitu. Tapi juga Binsar dan Bistok, teman karib Poltak dari Panatapan;  Adian, Dinar, Jonder, dan  Togu dari Sorpea; Alogo, Gomgom, dan Tiur, teman-teman Berta dari Binanga;  Jojor, Marolop, dan Nalom dari Hutabolon; serta Poibe, Risma, dan Saur dari Portibi.
Semua murid kelas enam berharap lulus sekolah dasar. Enam tahun belajar terus-menerus sudah terlalu lama bagi mereka. Mulai jenuh. Jangan sampai tujuh tahunlah seperti Binsar, Bistok, dan Poibe.
Senin 10 Desember 1973, tibalah hari pengumuman kelulusan sekolah. Â Itulah momen yang paling dinanti murid kelas enam SD Hutabolon. Â .
Pagi hari di depan barisan murid kelas satu sampai enam, Guru Henok, Kepala Sekolah berdiri sambil menebar senyum kepada seluruh murid. Â Sebuah kejutan, Pak Rapolo, Penilik Sekolah berdiri di sampingnya, dengan senyum lebar di bibir.
Senyum Pak Rapolo pagi itu terlihat tulus. Â Bukan senyum sinis bercampur licik seperti tahun lalu, waktu dia menguji murid-murid kelas lima.