Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Poltak #104] Hari-Hari Terakhir di Sekolah

13 Juli 2023   15:40 Diperbarui: 13 Juli 2023   15:42 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kolase oleh FT (Foto: Dok. Istimewa/kompas.com)

November 1973, murid-murid kelas enam SD Hutabolon memasuki hari-hari terakhir di sekolah.  Bulan itu adalah masa ulangan akhir sekolah. Ulangan untuk penentuan kelulusan dari sekolah dasar.

Ada sembilan mata pelajaran yang diambil nilainya untuk syarat kelulusan. Tapi murid-murid kelas enam hanya menjalani ulangan untuk lima vak. Mata pelajaran  Pendidikan Agama, Pendidikan Kewargaan Negara, Bahasa Indonesia, Berhitung, dan Ilmu Pengetahuan Alam.  

Empat mata pelajaran lainnya telah diujikan Guru Arsenius tanpa disadari murid-muridnya. Itulah vak Pendidikan Olah Raga, Pendidikan Kesenian, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, dan Pendidikan Kecakapan Khusus.  Nilai empat mata pelajaran itu didasarkan Guru Arsenius pada capaian murid sepanjang tahun.

"Dua minggu lagi kalian akan menjalani ujian akhir sekolah."  Guru Arsenius mengingatkan di satu pagi pada awal November.

Murid-murid diam, menunggu penjelasan lebih lanjut.  Tapi Guru Arsenius ikut diam juga, meninggalkan hening.

"Gurunami, vak apa saja yang diujikan?" Poltak bertanya, memecah keheningan.

"Kalian belajarlah Agama, Kewargaan Negara, Bahasa Indonesia, Berhitung, dan Ilmu Pengetahuan Alam." Guru Arsenius merinci mata pelajaran yang akan diujikan.

"Nauli, Gurunami!" Murid-murid serempak mengiyakan.

Dari lima vak itu, Pendidikan Agama paling bikin pusing Poltak dan teman-temannya. Itu satu-satunya vak tanpa buku pelajaran dan buku catatan.  Guru Gayus hanya bermodalkan Bibel untuk mengajar murid-murid kelas satu sampai kelas enam. 

Setiap jam pelajaran adalah penceritaan satu kisah dari Bibel.   Guru Gayus bercerita, murid-murid mendengar. Lalu, sebagai penutup,  Guru Gayus menyampaikan muatan budi pekerti dalam cerita. Sudah, begitu saja.

Karena itu untuk ujian vak Agama, murid-murid kelas enam hanya bisa berdoa kepada Tuhan.  Semoga saat ulangan nanti Dia berkenan mengutus Roh Kudus-Nya, lalu teranglah pikiran mereka. 

"Pelajarilah semua catatan dan buku bacaan selama kelas enam."  Begitu nasihat Guru Arsenius. 

Delapanbelas murid kelas enam lalu berjibaku dalam dua minggu. Setiap malam mereka belajar dengan cara masing-masing di rumah. Hanya diterangi oleh lampu semprong atau lampu teplok.

Kendati menjelang ujian akhir sekolah, takada yang berubah dari kegiatan harian murid-murid kelas enam. Masuk sekolah seperti biasa. Pulang sekolah tetap membantu orangtua bekerja. Belajar untuk persiapan ujian hanya bisa dilakukan pada malam hari.

"Anak-anak, sudah siap untuk ulangan mulai Senin depan?" tanya Guru Arsenius pada hari Sabtu, dua hari sebelum minggu ulangan.

"Siap, Gurunami!" jawab murid-muridnya serentak.

"Berta! Bagaimana caramu menyiapkan diri?"

"Berdoa setiap mau belajar, Gurunami."

"Bagus!  Kau, Poltak?"

 "Minum limun sebelum belajar, Gurunami."

"Minum limun?"  Guru Arsenius terheran-heran. Baru dengar dia hal aneh seperti itu.

"Betul, Gurunami."

"Mengapa begitu, Poltak."

"Sebab limun bikin otak jadi encer, Gurunami."

"Ingusmulah encer, Poltak.  Sudah, terserah kau sajalah," kata Guru Arsenius menutup percakapan yang tak masuk di akalnya itu.

Guru Arsenius tak tahu-menahu tentang khasiat limun selain penawar dahaga. Bagi Poltak limun tak sesederhana itu.  Baginya limun adalah obat segala jenis penyakit dan kebodohan.  Minum limun dapat menyegarkan tubuh dan melancarkan pikiran. Poltak sudah membuktikannya sendiri.

Selama dua minggu belajar untuk persiapan ujian akhir, Poltak menghabiskan dua botol limun. Setiap malam sebelum belajar, dia minum dulu dua teguk. Dengan cara itu dua botol limun cukuplah untuk empatbelas malam.

Minggu ujian akhir di SD Hutabolon berlangsung lima hari.  Dari Senin sampai Jumat, satu mata pelajaran tiap hari. 

Ulangan diasakan selama dua jam pertama waktu belajar di pagi hari.  Saat kondisi tubuh dan pikiran masih segar. 

Tiap kali selesai ujian Guru Arsenius menjelaskan ulang bahan-bahan pelajaran untuk persiapan ujian besok harinya.  Hal itu sangat membantu murid-murid menentukan apa yang harus dipelajari mendalam, apa yang cukup sekali baca, dan  apa yang boleh dilewatkan saja.

"Anak-anak, dilarang menyontek." Begitu peringatan dari Guru Arsenius.

Larangan yang percuma sebenarnya.  Sebab takada sama sekali kesempatan menyontek. Soalnya ulangan diawasi dua orang guru senior, Guru Arsenius dan Guru Gayus. 

Di mata murid-murid SD Hutabolon, Guru Gayus itu semacam tuhan yang kasat mata.  Sebab dia bisa mengetahui apa yang tak dilihat atau didengarnya. Seakan di tengkuknya ada sepasang mata gaib, dan kedua punggung telapak tangannya terdapat telinga transparan.

"Poltak.  Kau bisa semua ulangannya, kan?"  tanya Berta selepas ujian vak terakhir, Bahasa Indonesia, pada hari Jumat.

"Bisalah kujawab semua, Berta. Tapi pasti tak benar semua."

"Pasti lebih banyak jawaban yang benar, kan?"

"Kuharap begitu. Kau juga kuharap begitu, Berta."

Keduanya bertukar senyum.  Sekalian berbagi harapan, semoga sama-sama lulus Sekolah Dasar. 

Tak hanya Poltak dan Berta yang berharap begitu. Tapi juga Binsar dan Bistok, teman karib Poltak dari Panatapan;  Adian, Dinar, Jonder, dan  Togu dari Sorpea; Alogo, Gomgom, dan Tiur, teman-teman Berta dari Binanga;  Jojor, Marolop, dan Nalom dari Hutabolon; serta Poibe, Risma, dan Saur dari Portibi.

Semua murid kelas enam berharap lulus sekolah dasar. Enam tahun belajar terus-menerus sudah terlalu lama bagi mereka. Mulai jenuh. Jangan sampai tujuh tahunlah seperti Binsar, Bistok, dan Poibe.

Senin 10 Desember 1973, tibalah hari pengumuman kelulusan sekolah.  Itulah momen yang paling dinanti murid kelas enam SD Hutabolon.  .

Pagi hari di depan barisan murid kelas satu sampai enam, Guru Henok, Kepala Sekolah berdiri sambil menebar senyum kepada seluruh murid.  Sebuah kejutan, Pak Rapolo, Penilik Sekolah berdiri di sampingnya, dengan senyum lebar di bibir.

Senyum Pak Rapolo pagi itu terlihat tulus.  Bukan senyum sinis bercampur licik seperti tahun lalu, waktu dia menguji murid-murid kelas lima.

"Anak-anak, pagi ini Pak Rapolo, Penilik Sekolah dari Parapat hadir di tengah-tengah kita.  Beliau akan mengumumkan kelulusan murid-murid kelas enam tahun ini.  Silahkan, Pak Penilik."

Giliran Pak Rapolo berbicara.  "Mauliate, Pak Kepala Sekolah. Anak-anak, bapak pagi ini membawa kabar gembira untuk kalian."

Diam sejenak, tarik nafas. 

"Dengan ini bapak umumkan, seluruhnya, delapanbelas orang murid kelas enam Sekolah Dasar Hutabolon dinyatakan lulus!" Senyum Pak Rapolo tambah lebar, tampak puas.

Tepuk tangan dan tempik-sorak suka-cita bergemuruh dari barisan murid-murid.  Juga dari barisan guru-guru.  Semua gembira, terutama murid-murid kelas enam, Guru Arsenius, dan Guru Henok. 

Kelulusan murid-murid kelas enam itu adalah pertaruhan reputasi Guru Arsenius. Kalau sampai ada murid yang tak lulus, maka dialah yang paling kalang-kabut.  Sebab harus menjelaskan duduk perkaranya kepada kepala sekolah dan orangtua murid.

Penjelasan kepada orangtua murid itu sangat penting. Bila tidak, bisa-bisa anak yang tak lulus itu hajap dilecuti bapaknya karena dianggap bikin malu.

"Ada kabar yang lebih menggembirakan lagi," kata Pak Rapolo, setelah tepuk tangan dan tempik-sorak mereda.

Semua guru dan murid diam, siap mendengar.  Semua mata tertuju kepada Pak Rapolo, dengan rasa ingin tahu.

"Lulusan dengan total nilai tertinggi sekecamatan Parapat ada di sekolah ini. Dia adalah ...."  Pak Rapolo menahan kalimatnya.  Guru-guru dan murid-murid menahan napas.

"Poltak!" teriak Pak Rapolo sambil bertepuk tangan.

"Hidup, Poltak!"

"Hidup, Sekolah Dasar Hutabolon!"

Murid-murid bersorak-sorai suka-ria menyambut prestasi gemilang Poltak.  Prestasi Poltak adalah prestasi SD Hutabolon juga. Itu pertama kali dalam sejarah SD Hutabolon.

Tiba-tiba Binsar dan Bistok mengangkat tubuh Poltak dan melontarkannya ke udara sambil berteriak, "Hidup, Poltak!" Ulah Binsar dan Bistok diikuti Jonder, Alogo, Marolop, Saur dan anak-anak laki lainnya.

Tubuh Poltak berkali-kali dilontarkan ke udara. Isi perutnya serasa dikocok-kocok. Dia tak tahan lagi. Lalu, "Duuut!"

Poltak kentut. Bunyinya sungguh dahsyat. Teman- temannya terkejut lalu spontan menyisih.

Otomatis tubuh Poltak terlepas dan melayang di udara lalu, sesuai hukum gravitasi, jatuh berdebum keras ke tanah selayaknya nangka busuk.

"Amangoi ...!"  Poltak mengaduh kesakitan.

"Poltak ...!" 

Lamat-lamat masih terdengar oleh Poltak teriakan Berta memanggil namanya. Setelah itu dia melihat ribuan bintang berpendar mengelilingi kepalanya. Tapi takada satupun rasi bintang yang dikenalnya. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun