Felix berpandangan bahwa puisi tidak boleh menjadi elitis. Hanya milik para pemuisi yang paham dan menulis berdasar teori, metode, dan kaidah puisi. Tidak, itu tak boleh terjadi.Â
Puisi harus menjadi hak demokrasi. Siapapun berhak menyatakan pikirannya lewat puisi, dengan caranya  sendiri, bebas dari pagar-pagar teori, metode, dan kaidah.
Apakah perseteruan Ayah dan Felix itu mengarah pada upaya penaklukan seorang oleh lainnya? Sama sekali tidak. Buah perseteruan yang bersifat "idiologis" itu justru pengembangan diri masing-masing.
Maksudnya, kritik Ayah Tuah pada Felix melecut Felix untuk menjadi penulis puisi anarkis yang lebih baik. Sebaliknya kritik Felix pada Ayah memacu -- semoga begitu, ya -- Ayah Tuah menjadi penulis puisi pasifis yang semakin inovatif dan hebat.
Itu sebabnya aku bilang perseteruan Ayah dan Felix berujung pada kebaikan bagi kedua pihak.
***
Aspek logika dalam bahasa puisi juga menjadi sumber seteru Ayah Tuah dan Felix Tani.
Dalam pandangan Felix Tani, estetika pantang mengorbankan logika. Tapi Ayah Tuah berpikir, dalam konteks licentia poetica, sah-sah saja pemuisi menuliskan frasa atau kalimat yang sekilas terbaca tak logis, tapi sebenarnya adalah gaya bahasa atau majas yang memperindah.
Seteru logika itu sempat meruncing. Gegara Felix menertawakan dua frasa dalam dua puisi di Kompadiana. Masing-masing dianggit dua orang pemuisi "kesayangan" Ayah Tuah. Lilik Fatimah dan Ayu Diahastuti.
Frasa yang dimaksud adalah "lubang sumur" pada larik puisi Lilik: "Kucari ia di setiap sudut rumah. Di dapur, di lubang sumur, di kolong tempat tidur." ("Lelaki yang Berbahaya").
Lalu frasa "punggung kabel listrik" pada larik puisi Ayu: "Kepada burung-burung gereja yang bertengger di punggung kabel listrik." ("Puisi Kita Sore Lalu").