Para lansia itu senang berseteru. Bukan karena mereka jahat. Bukan. Tapi karena dalam seteru, mereka menemukan gairah hidup. Tidak sendu sepi sendiri menghitung hari.
Itu sebabnya para lansia Jepang kiwari gemar melakukan tipiring. Semisal mencuri sepeda, mencuri barang di toko, dan menodong siswi kinyis-kinyis. Supaya mereka ditangkap polisi lalu dijebloskan ke penjarah.Â
Nah, that's life. Di penjara lansia itu bahagia. Punya banyak kawan dan dipiara negara. Â
Tapi itu di Jepang, ya. Jangan coba-coba di Indonesia. Penjara negeri ini tidak didisain ramah lansia. Belum juga masuk, kamu sudah ingin kabur.
Makanya saya heran. Tempo hari ada berita penangkapan sejumlah lansia pelaku judi. Aku menduga judi bagi mereka adalah way of life. So, mereka ditangkap dan mungkin akan dipenjarakan karena melakoni cara hidupnya. Masalahnya, seperti kukatakan tadi, penjara kita tak ramah lansia.
Barangkali, sekadar usul nih kepada Menkumham, ada baiknya dibangun penjara khusus lansia. Jangan cuma penjara anak-anak saja.
Lansia berseteru itu bisa di mana saja. Bisa di dunia nyata semisal di kedai kopi, kedai tuak, pasar, kakus umum, gang, lapangan, dan tikungan. Bisa pula di dunia maya semisal di WAG, medsos, medol, dan blog. Gimana enaknya aja.
Tapi dengan semakin intensif dan ekstensifnya perkembangan I(di)oT, para lansia kini lebih banyak berseteru di dunia maya. Kamu pasti tahu, siapa saja politisi gaek yang gemar berseteru dengan rezim via medsos dan medol. Sebagian adalah gelandangan politik yang takut kesepian. Â
Di antara banyak lansia tersebutlah dua orang yang setia merawat perseteruan di antara mereka. Â Mungkin kamu pernah dengar nama mereka: Ayah Tuah alias Kakek Ayah dan Felix Tani alias Engkong Felix. Keduanya rajin berseteru di blog ombyokan Kompasiana.
Aku hendak ceritakan perseteruan mereka. Tapi kamu boleh berhenti membaca, kalau tak tertarik.
***
Ayah Tuah dan Felix Tani itu sejatinya dua sekawan lansia. Mereka suka berseteru karena memang tak ada hal baik lain yang bisa dilakukan kecuali itu.
Hal baik? Berseteru itu itu hal baik?
Ya, dari sudut pandang Marxian memang begitu. Konflik adalah jalan menuju perbaikan kondisi.
Untuk konteks perseteruan Ayah dan Felix, begini penjelasannya.
Ayah Tuah itu seorang sastrawan. Bukan, eh, belum sastrawan besar, sih. Tapi tetap saja terbilang sastrawan. Setidaknya dia sudah menerbitkan antologi puisi Tiga Bicara Hujan.Â
Boleh dikata, selain biang cerpen, Ayah Tuah terutama adalah buaya puisi. Seperti dibuktikan dengan puisi-puisinya yang kerap menjadi Artikel Utama (AU) di Kompasiana. Walau itu AU di tengah malam. Pilu, memang.
Sebaliknya, Felix Tani itu jelas bukan sastrawan. Dia cuma seorang penulis picisan yang gemar pamer teori sosiologi dalam artikel-artikel sumirnya. Biasanya tentang masyarakat Batak Toba dan ragam masalah sosial lainnya.
Jika ada sisi baik pada Felix, maka itu hanya soal semangatnya belajar menulis puisi. Tapi ada bedanya dengan Ayah Tuah. Ayah menulis puisi pasifis yaitu puisi yang cinta perdamaian, patuh pada teori, metode, dan kaidah-kaidah baku. Felix menulis puisi anarkis. Maksudnya, terserahlah caranya, yang penting logis, etis, dan estetis.
Anarkisme itu kemudian menjadi salah satu pemicu seteru antara Ayah Tuah dan Felix Tani. Ayah itu patuh pada kaidah puisi, Felix menerabasnya. Karena itu di mata Ayah puisi Felix itu bukan puisi melainkan pseudo-puisi.Â
Tak apalah. "Jika kubilang ini puisi maka puisilah ini." Demikian Felix kukuh pada pendirian anarkisnya.Â
Felix berpandangan bahwa puisi tidak boleh menjadi elitis. Hanya milik para pemuisi yang paham dan menulis berdasar teori, metode, dan kaidah puisi. Tidak, itu tak boleh terjadi.Â
Puisi harus menjadi hak demokrasi. Siapapun berhak menyatakan pikirannya lewat puisi, dengan caranya  sendiri, bebas dari pagar-pagar teori, metode, dan kaidah.
Apakah perseteruan Ayah dan Felix itu mengarah pada upaya penaklukan seorang oleh lainnya? Sama sekali tidak. Buah perseteruan yang bersifat "idiologis" itu justru pengembangan diri masing-masing.
Maksudnya, kritik Ayah Tuah pada Felix melecut Felix untuk menjadi penulis puisi anarkis yang lebih baik. Sebaliknya kritik Felix pada Ayah memacu -- semoga begitu, ya -- Ayah Tuah menjadi penulis puisi pasifis yang semakin inovatif dan hebat.
Itu sebabnya aku bilang perseteruan Ayah dan Felix berujung pada kebaikan bagi kedua pihak.
***
Aspek logika dalam bahasa puisi juga menjadi sumber seteru Ayah Tuah dan Felix Tani.
Dalam pandangan Felix Tani, estetika pantang mengorbankan logika. Tapi Ayah Tuah berpikir, dalam konteks licentia poetica, sah-sah saja pemuisi menuliskan frasa atau kalimat yang sekilas terbaca tak logis, tapi sebenarnya adalah gaya bahasa atau majas yang memperindah.
Seteru logika itu sempat meruncing. Gegara Felix menertawakan dua frasa dalam dua puisi di Kompadiana. Masing-masing dianggit dua orang pemuisi "kesayangan" Ayah Tuah. Lilik Fatimah dan Ayu Diahastuti.
Frasa yang dimaksud adalah "lubang sumur" pada larik puisi Lilik: "Kucari ia di setiap sudut rumah. Di dapur, di lubang sumur, di kolong tempat tidur." ("Lelaki yang Berbahaya").
Lalu frasa "punggung kabel listrik" pada larik puisi Ayu: "Kepada burung-burung gereja yang bertengger di punggung kabel listrik." ("Puisi Kita Sore Lalu").
Bagi Ayah Tuah frasa "lubang sumur" sah-sah saja dan indah. Itu majas pleonasme, melebih-lebihkan seperti frasa "naik ke atas" atau "masuk ke dalam".
Tapi bagi Felix itu tak logis. Sebab setiap sumur adalah lubang, tapi tidak setiap lubang adalah sumur. Karena itu frasa "lubang sumur" berarti "lubang dari lubang". How come, gitu, lho. Gak logis!
Begitupun frasa "punggung kabel listrik". Bagi Ayah Tua itu majas personifikasi yang indah. Semacam frasa "angin berbisik" atau "nyiur melambai."
Sebaliknya, bagi Felix Tani itu tak logis. Desau angin memang logis, semacam bisikan pacar. Pun nyiur melambai, semacam lambaian tangan pacar. Tapi "punggung kabel listrik"? Di mana logikanya, ya. Tak adapun kesejajaran bentuk, fungsi, atau gestur.
Apakah Ayah dan Felix tiba pada satu kepahaman terkait logika bahasa puisi? Gaklah! Ayah Tuah tetap pada pendirian bahwa puisi punya logikanya sendiri. Sementara Felix Tani berpandangan logika itu universal.
Ya, sudah. Keduanya sepakat berbeda jalur dan berupaya melakukan yang terbaik lewat jalan masing-masing. Kalau kamu pikir itu masalah, maka kamulah masalah itu.
***
Tapi ada satu hal yang pada akhirnya dapat disepakati Ayah Tua dan Felix Tani. Ikhwal konteks puisi. Jelasnya, sebuah puisi jangan pernah memusuhi kontekstualitas. Jika tak mau diabaikan khalayak pembaca.
Itu berawal dari pseudo-puisi Felix Tani berjudul "Sudah Dipastikan Tak Ada Ijazah Atas Nama Jokowi" (K. 11/10/2023). Puisi-puisian itu mendulang 6,223 views. Rekor langka untuk sebuah puisi di Kompasiana.
Fakta itu membuat Ayah Tuah naik pitam, lalu sakit hati. Sebab dia memerlukan 10 puisi dengan predikat Artikel Utama untuk meraih total 6,000-an views.Â
Masa sih Felix Tani bisa meraihnya hanya dengan satu puisi-puisian abal-abal? "Tidak! Aku tak bisa terima!" Ayah Tuah meradang.
Lha, angka 6,223 views itu kan maunya pembaca. Bukan mauku. Walau aku oke-oke saja, sih. Jadi kalau mau sakit hati, sana sakit hatilah pada pembaca. Iya gak, sih?
Tapi di situlah letak urgensi dan relevansi kontekstualitas sebuah puisi. Puisi anggitan Felix itu kebetulan memanfaatkan viralitas "ijazah palsu" Jokowi sebagai konteks. Dengan begitu dia menjadi puisi kontekstual.
Kontekstualitas itu menjadi semacam cahaya lampu yang mengundang ribuan laron di malam hari. Itu menjelaskan 6,000-an views pada puisi Felix Tani.
Tapi pada akhirnya tiba juga hari "pembalasan". Kebetulan sedang viral hujatan pada puisi Butet Kartaredjasa yang dinilai menyindir dua bacapres 2024. Bahasanya dinilai vulgar: seorang bacapres disebut "penculik", lainnya disebut "pandir".
Nah, itu sebuah konteks yang seksi, berpotensi menarik banyak orang. Maka lahirlah puisi "Jangan Buat Puisimu dengan Kata-kata Api" (K. 27/6/2023) dari jemari Ayah Tuah. Â Itu sebuah puisi yang berseru-seru.
Berikut bait pertama dan dua bait terakhirnya:
"Karena itu bukan hanya orang lain
terbakar
tapi juga membuat hati sendiri
kehilangan nalar
...
Kelapa tua lebih berminyak
Manusia tua sebaiknya lebih bijak
Bukan demi sekelompok puak
Atau kebencian yang meruyak
Dan puisi adalah kumpulan kata
Yang indah
Sekalipun yang disampaikan
Sesuatu yang berdarah."
Puisi itu adalah teguran sekaligus nasihat kepada Butet -- sebab ilustrasinya sosok Butet Kartaredjasa -- agar senantiasa bijak dalam berkata-kata tentang orang lain, sekalipun orang itu tak disukainya. Jangan menebar kata-kata api yang bisa membakar emosi sekelompok orang.
Hasilnya? Ayah Tuah nyaris pingsan. Tak disangka puisi itu berhasil mendulang 27,300-an views. Angka psikologis 6,000 views terlampau sudah, jauh, jauh sekali di belakang. Begitulah kuasa kontekstualitas.
Apakah Felix Tani diam saja? Tidak! Sebab bukankah keduanya telah sepakat menghasilkan yang terbaik di jalan masing-masing?
Maka Felix Tani menganggit dan mengagihkan puisi anarkis "Puisi Si Butet Bau Tuak" (K. 30/07/2023). Ini juga sebuah puisi yang berseru-seru, memanfaatkan konteks viralitas  puisi Butet.Â
Berikut adalah petikan bait 3-5 puisi, eh, pdeudo-puisi (?) itu:
"si butet berpuisi: ho, hoa, hoaa, hoaaa, hoaaak; currr, duut, pret bret pet; hu, hue, huee, hueee, hueeek
perlak basah, pesing kencing; teronggok feses, bau berak; terserak muntah, ruap uap miras
hei! siapa yang mengganti susu si butet dengan tuak?"
Ndilalah, puisi itu berhasil meraup 24,300-an views. Â Kalah 3,000-an views dari puisi Ayah.Â
Tapi intinya bukan pada jumlah views itu. Intinya adalah pembuktian bahwa sebuah puisi kontekstual dapat menarik minat puluhan ribu pembaca untuk membacanya.Â
Lagi pula puisi Ayah dan puisi Felix berangkat dari perbedaan sudut pandang tentang puisi Butet.
Sepintas puisi anarkis Felix itu, kalau dibaca secara hurufiah, tak ada kaitannya dengan Butet Kartaredjasa. Tapi sejatinya itu adalah pemaknaan terhadap semangat anarkisme pada puisi Butet.
Felix Tua memaknai puisi Butet sebagai ujaran-ujaran seseorang yang mabuk tuak. Dalam kondisi mabuk tuak, seseorang menjadi jujur seperti anak balita, mengujarkan apa saja isi hati atau benaknya dengan kata-kata apa saja. Jadi, puisi Butet itu adalah pernyataan jujur secara anarkis.
Sebaliknya, Ayah Tuah menilai bahasa puisi Butet itu tak sepantasnya keluar dari seorang tetua. Kata Ayah:
"Kelapa tua lebih berminyak
Manusia tua sebaiknya lebih bijak
Bukan demi sekelompok puak
Atau kebencian yang meruyak."
***
Apakah Ayah Tuah dan Felix Tani akan berdamai?
Ah, itu pertanyaan keliru. Faktanya mereka berdua hidup damai, tak ada kemarahan atau kebencian satu sama lain. Mereka hanya memerlukan perseteruan sebagai jalan pemelajaran puisi.Â
Pemelajar di jalur masing-masing, tentu saja. Ayah Tuah di jalur puisi pasifis. Felix Tani di jalur puisi anarkis. Mereka bersimpang jalan. Tapi kadang bertemu di titik persimpangan, sekadar berseteru untuk menggali inspirasi.
Satu hal, pada akhirnya, yang perlu diketahui. Ayah Tuah itu bagi Felix Tani adalah seorang "guru puisi". (eFTe)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI