Felix Tua memaknai puisi Butet sebagai ujaran-ujaran seseorang yang mabuk tuak. Dalam kondisi mabuk tuak, seseorang menjadi jujur seperti anak balita, mengujarkan apa saja isi hati atau benaknya dengan kata-kata apa saja. Jadi, puisi Butet itu adalah pernyataan jujur secara anarkis.
Sebaliknya, Ayah Tuah menilai bahasa puisi Butet itu tak sepantasnya keluar dari seorang tetua. Kata Ayah:
"Kelapa tua lebih berminyak
Manusia tua sebaiknya lebih bijak
Bukan demi sekelompok puak
Atau kebencian yang meruyak."
***
Apakah Ayah Tuah dan Felix Tani akan berdamai?
Ah, itu pertanyaan keliru. Faktanya mereka berdua hidup damai, tak ada kemarahan atau kebencian satu sama lain. Mereka hanya memerlukan perseteruan sebagai jalan pemelajaran puisi.Â
Pemelajar di jalur masing-masing, tentu saja. Ayah Tuah di jalur puisi pasifis. Felix Tani di jalur puisi anarkis. Mereka bersimpang jalan. Tapi kadang bertemu di titik persimpangan, sekadar berseteru untuk menggali inspirasi.
Satu hal, pada akhirnya, yang perlu diketahui. Ayah Tuah itu bagi Felix Tani adalah seorang "guru puisi". (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H