Hasilnya? Ayah Tuah nyaris pingsan. Tak disangka puisi itu berhasil mendulang 27,300-an views. Angka psikologis 6,000 views terlampau sudah, jauh, jauh sekali di belakang. Begitulah kuasa kontekstualitas.
Apakah Felix Tani diam saja? Tidak! Sebab bukankah keduanya telah sepakat menghasilkan yang terbaik di jalan masing-masing?
Maka Felix Tani menganggit dan mengagihkan puisi anarkis "Puisi Si Butet Bau Tuak" (K. 30/07/2023). Ini juga sebuah puisi yang berseru-seru, memanfaatkan konteks viralitas  puisi Butet.Â
Berikut adalah petikan bait 3-5 puisi, eh, pdeudo-puisi (?) itu:
"si butet berpuisi: ho, hoa, hoaa, hoaaa, hoaaak; currr, duut, pret bret pet; hu, hue, huee, hueee, hueeek
perlak basah, pesing kencing; teronggok feses, bau berak; terserak muntah, ruap uap miras
hei! siapa yang mengganti susu si butet dengan tuak?"
Ndilalah, puisi itu berhasil meraup 24,300-an views. Â Kalah 3,000-an views dari puisi Ayah.Â
Tapi intinya bukan pada jumlah views itu. Intinya adalah pembuktian bahwa sebuah puisi kontekstual dapat menarik minat puluhan ribu pembaca untuk membacanya.Â
Lagi pula puisi Ayah dan puisi Felix berangkat dari perbedaan sudut pandang tentang puisi Butet.
Sepintas puisi anarkis Felix itu, kalau dibaca secara hurufiah, tak ada kaitannya dengan Butet Kartaredjasa. Tapi sejatinya itu adalah pemaknaan terhadap semangat anarkisme pada puisi Butet.