Orang Batak, jika merujuk pada warga kampungku -- kampung Panatapan (pseudonim) -- menanam pisang untuk dua maksud.Â
Pertama, sebagai penanda kuasa atas tanah porlak, kebun. Sekaligus penanda sebuah kampung yang hidup secara sosial, ekonomi, dan budaya.
Lazim setiap warga kampung memiliki hak atas tanah di belakang rumahnya. Itu disebut porlak. Kehadiran pohon pisang menjadi penanda hak tersebut. Â
Kedua, untuk dimanfaatkan hasilnya sebagai penunjang kehidupan sosial-budaya dan sosial-ekonomi.Â
Orang Batak menanam pisang untuk diambil terutama buah dan daunnya. Â Buah sudah jelas untuk dikonsumsi sendiri. Tapi lebih banyak untuk dijual ke onan, pasar mingguan.
Saya dulu ikut terlibat dalam urusan penjualan ini. Tiga hari sebelum hari pasar di Tigaraja Parapat -- ini pasar orientasi kampungku -- pisang tua ditebang. Sisiran-sisirannya dilepas dari  tangkai buah. Siap untuk diperam.
Cara peramnya masih tradisional. Sisiran-sisiran pisang tadi dimasukkan ke dalam pangombusan, liang pemeraman dalam tanah. Â Dialasi dan ditutupi dengan daun pisang kering.Â
Lalu di mulut liang dibakar daun pisang kering. Asapnya diombus, dihembus, sehingga masuk ke dalam liang. Itu sebabnya dibilang pangombusan, penghembusan. Â Asap panas itu akan mempercepat pematangan pisang.Â
Sore pada hari ketiga, itu artinya Jumat sore, pangombusan dibuka. Pisang matang sempurna dikeluarkan dan disusun dalam keranjang rotan. Siap dibawa dan dijual ke pasar esoknya. Uangnya untuk beli gula, garam, kelapa, ikan mujair, ikan asin, dan lain-lain.
Daun pisang serba-guna juga. Orang Batak lazim menggunakannya sebagai pembungkus lampet, kue bugis atau lepat tepung beras khas Batak. Varian paling terkenal adalah ombus-ombus Siborong-borong. Disajikan panas sehingga harus diombus-ombus, dihembus-hembus dulu agar dingin.Â
Selain itu, daun pisang kering yang liat juga digunakan sebagai pembungkus ikan asin di pasar. Biasanya diikat dengan tali serat yang disuwir dari pelepah batang pisang kering. Itu kemasan ramah lingkungan.