Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pisang dalam Budaya Batak Toba

5 Juli 2023   12:20 Diperbarui: 6 Juli 2023   01:33 2421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pohon pisang berbuah (Dokpri)

"Gaol", begitu orang Batak Toba menyebut "pisang".  Aslinya begitu dalam bahasa Batak. Kata "pisang" adalah serapan dari Bahasa Indonesia.

Ada Lumbangaol, "kampung pisang", merujuk nama sebuah kampung (ada di Toba Holbung dan Habinsaran) sekaligus salah satu marga dalam masyarakat Batak Toba. Marga Hutagaol adalah rumpun marga Marbun.

Ada pula satu umpasa, petitih Batak Toba yang berbunyi "marsiamin-aminan songon lampak ni gaol." Artinya "saling-lapis seperti pelepah batang pisang."

Andai pelepah-pelepah batang pisang itu tidak saling-lapis secara rapat dan padat menjadi batang semu, maka sudah pasti pohon pisang tidak kuat berdiri tegak. Pasti langsung rubuh.

Petitih itu lazim disampaikan orangtua Batak kepada  anak-anaknya. Anak-anak harus saling-lapis satu sama lain untuk mendukung keutuhan dan kehormatan keluarga.

Atau bila orang-orang yang mardongan-tubu, kerabat sedarah, berselisih maka tulang (hula-hula, paman) mereka akan menasihati dengan mengujarkan petitih itu.  

Dua hal di atas, nama kampung/marga dan petitih pisang, menandakan pisang adalah bagian budaya Batak Toba.

***

Pertama, tentu saja,  bagian dari budaya tani Batak Toba.

Orang Batak Toba mengenal empat lapis agroekologi. Lapis pertama porlak, kebun campuran di lahan belakang rumah. Kedua, sawah di area holbung, lembah. Ketiga, darat atau ladang, usahatani lahan kering (padu gogo dan palawija). Keempat, harangan, hutan desa sebagai sumber rotan, kayu, dan getah.

Pisang atau gaol lazim dibudidayakan di porlak, kebun belakang rumah. Dia termasuk tanaman sumber pangan pertama yang diusahakan. Bersama-sama antirha, singkong  dan gadong insir, ubi jalar.

Penanaman pisang itu memiliki makna sosial-budaya dan sosial ekonomi. Secara sosial-budaya, pisang tergolong tanaman penanda huta, perkampungan. Ada pohon pisang, berarti ada kampung.

Ada nilai budaya saling-lapis antar warga kampung di balik penanaman pisang itu. Maksudnya, warga kampung harus marsiamin-aminan songon lampak ni gaol. Warga harus saling-lapis, bersatu, demi tegaknya entitas sosial kampung.

Secara sosial-ekonomi, pisang itu adalah tanaman utama dalam praktek permakultur, budidaya permanen, dalam masyarakat Batak. Sekali tanam untuk selamanya.

Tanaman pisang lazim tumbuh bergerumbul di belakang rumah orang Batak. Beranak-pinak di situ relatif tanpa pemeliharaan khusus.  Tahunya panen buah, daun, dan jantung saja.

Varietas pisang yang lazim ditanam orang Batak di porlak adalah gaol singali-ngali (Musa acuminta), pisang dingin-dingin. Dikenal juga sebagai varian pisang mas atau jari nona (lady fingers banana). Disebut singali-ngali karena rasanya manis tapi dingin. Mungkin pengaruh udara dingin Toba.

Tentu dikenal juga jenis pisang lain. Seperti barangan, kepok, dan ambon. Tapi pisang singali-ngali boleh dibilang endemik Tanah Batak.

Karena itu jenis pisang singali-ngali boleh dikatakan hidup dalam dan menghidupi budaya masyarakat Batak. Saya akan ceritakan di bawah ini.

***

Tentu ini pengalaman budaya yang bersifat subyektif.  Pengalaman di masa lalu, tahun 1960-an sampai awal 1980-an.

Artinya, saya mengalami eksistensi pisang sebagai bagian dari budaya Batak Toba selama 20 tahunan.

Orang Batak, jika merujuk pada warga kampungku -- kampung Panatapan (pseudonim) -- menanam pisang untuk dua maksud. 

Pertama, sebagai penanda kuasa atas tanah porlak, kebun. Sekaligus penanda sebuah kampung yang hidup secara sosial, ekonomi, dan budaya.

Lazim setiap warga kampung memiliki hak atas tanah di belakang rumahnya. Itu disebut porlak. Kehadiran pohon pisang menjadi penanda hak tersebut.  

Kedua, untuk dimanfaatkan hasilnya sebagai penunjang kehidupan sosial-budaya dan sosial-ekonomi. 

Orang Batak menanam pisang untuk diambil terutama buah dan daunnya.  Buah sudah jelas untuk dikonsumsi sendiri. Tapi lebih banyak untuk dijual ke onan, pasar mingguan.

Saya dulu ikut terlibat dalam urusan penjualan ini. Tiga hari sebelum hari pasar di Tigaraja Parapat -- ini pasar orientasi kampungku -- pisang tua ditebang. Sisiran-sisirannya dilepas dari  tangkai buah. Siap untuk diperam.

Cara peramnya masih tradisional. Sisiran-sisiran pisang tadi dimasukkan ke dalam pangombusan, liang pemeraman dalam tanah.  Dialasi dan ditutupi dengan daun pisang kering. 

Lalu di mulut liang dibakar daun pisang kering. Asapnya diombus, dihembus, sehingga masuk ke dalam liang. Itu sebabnya dibilang pangombusan, penghembusan.  Asap panas itu akan mempercepat pematangan pisang. 

Sore pada hari ketiga, itu artinya Jumat sore, pangombusan dibuka. Pisang matang sempurna dikeluarkan dan disusun dalam keranjang rotan. Siap dibawa dan dijual ke pasar esoknya. Uangnya untuk beli gula, garam, kelapa, ikan mujair, ikan asin, dan lain-lain.

Daun pisang serba-guna juga. Orang Batak lazim menggunakannya sebagai pembungkus lampet, kue bugis atau lepat tepung beras khas Batak. Varian paling terkenal adalah ombus-ombus Siborong-borong. Disajikan panas sehingga harus diombus-ombus, dihembus-hembus dulu agar dingin. 

Selain itu, daun pisang kering yang liat juga digunakan sebagai pembungkus ikan asin di pasar. Biasanya diikat dengan tali serat yang disuwir dari pelepah batang pisang kering. Itu kemasan ramah lingkungan.

Lalu, yang paling menyenangkan, penggunaan daun pisang sebagai wadah saji makanan waktu pesta adat. Daun pisang di potong-potong dengan tulangannya. Kira-kira seukuran tampi persegi empat. 

Potongan daun itu lalu diletakkan terbalik di tengah sekelompok tamu pesta, 4-6 orang. Biasanya di halaman rumah. Lalu parhobas, pelayan pesta, akan mengonggokkan segunungan kecil nasi di atasnya. Ditambah dengan satu atau dua raup saksang, daging babi cincang dimasak dengan darahnya.

Lain dari itu, daun pisang juga digunakan sebagai "payung" saat turun hujan. Potong selembar daun lebar, lalu bentangkan di atas kepala saat hujan. Itu payung organik.

Selain buah dan daun, apakah orang Batak memanfaatkan bagian lain dari pisang? 

Tentu saja. Jantungnya untuk sayur -- ini paling lazim dalam masyarakat Batak Karo. Tapu waktu kecil, saya dan teman-teman kerap juga maka jantung mentah. Caranya pelepah jantung pisang dibuka terus sampai ketemu bagian yang putih total. Nah, itu enak dimakan.

Pelepahnya, sudah disebut tadi, dikeringkan untuk disuwir-suwir jadi tali pengikat. Kadang digunakan juga sebagi pembungkus bibit kopi.

Umbutnya -- dari pisang anakan -- diolah jadi sayur. Bisa juga dilalap mentah. Saat kecil, saya suka melalapnya mentah, penawar dahaga.

Bonggolnya? Saya belum pernah lihat orang Batak makan bonggol pisang. Beberapa etnis memang ada yang mengolahnya jadi keripik. Tapi harap tahu saja, orang Batak tak punya tradisi bikin keripik. Kalaupun ada, paling kripik opak. Itupun jarang.

Bagi anak-anak, menurut pengalamanku, pisang itu sumber kegembiraan. Batangnya bisa dibikin rakit untuk belajar berenang di tebat. Pelepah daunnya bisa dibikin bedil-bedilan untuk main perang-perangan. Manisan bunganya biasa disedot, bersaing dengan kolibri. Batang busuknya dibelah, di dalamnya ada kumbang-kumbang kecil, bisa langsung dimakan. Di dalam daun muda yang belum terbuka kadang ada kelelawar ngumpet, bisa ditangkap untuk mainan.

***

Pada dasarnya, semua bagian pohon pisang itu berguna. Beda suku beda budaya, beda pula tafsir terhadap pohon pisang, serta beda ragam pemanfaatannya.

Tapi saya hanya mau menceritakan apa yang kulihat dan kualami sendiri dalam lingkungan masyarakat Batak Toba.  Di kelompok suku lain, biarlah anak suku itu yang berkisah.

Bagi orang Batak Toba, pisang jelas telah menjadi bagian integral budayanya. Pohon pisang, dengan pelepahnya yang saling-lapis, adalah simbol kebersamaan dan keutuhan kerabat dan masyarakat.

Pisang juga menjadi sumberdaya ekonomi dan sosial. Buah adalah sumber penghasilan. Daunnya selain menjadi sumber penghasilan, juga menjadi perlengkapan makan saat pesta.

Bagi anak-anak pohon pisang menjadi sumber makanan dan alat permainan. Boleh dibilang pohon pisang itu menjadi basis kreativitas bagi anak-anak.

Tentu ada perubahan seiring perkembangan zaman. Penggunaan daun pisang untuk wadah makan secara berkelompok kini sudah sangat jarang.  Acara makan dalam pesta adat Batak kini cenderung individualis. Tamu undangan makan pakai piring dan cangkir masing-masing. Di dalam gedung tertutup pula.

Begitulah sekelumit cerita tentang pisang dalam budaya masyarakat Batak Toba. (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun