"Gaol", begitu orang Batak Toba menyebut "pisang". Â Aslinya begitu dalam bahasa Batak. Kata "pisang" adalah serapan dari Bahasa Indonesia.
Ada Lumbangaol, "kampung pisang", merujuk nama sebuah kampung (ada di Toba Holbung dan Habinsaran) sekaligus salah satu marga dalam masyarakat Batak Toba. Marga Hutagaol adalah rumpun marga Marbun.
Ada pula satu umpasa, petitih Batak Toba yang berbunyi "marsiamin-aminan songon lampak ni gaol." Artinya "saling-lapis seperti pelepah batang pisang."
Andai pelepah-pelepah batang pisang itu tidak saling-lapis secara rapat dan padat menjadi batang semu, maka sudah pasti pohon pisang tidak kuat berdiri tegak. Pasti langsung rubuh.
Petitih itu lazim disampaikan orangtua Batak kepada  anak-anaknya. Anak-anak harus saling-lapis satu sama lain untuk mendukung keutuhan dan kehormatan keluarga.
Atau bila orang-orang yang mardongan-tubu, kerabat sedarah, berselisih maka tulang (hula-hula, paman) mereka akan menasihati dengan mengujarkan petitih itu. Â
Dua hal di atas, nama kampung/marga dan petitih pisang, menandakan pisang adalah bagian budaya Batak Toba.
***
Pertama, tentu saja, Â bagian dari budaya tani Batak Toba.
Orang Batak Toba mengenal empat lapis agroekologi. Lapis pertama porlak, kebun campuran di lahan belakang rumah. Kedua, sawah di area holbung, lembah. Ketiga, darat atau ladang, usahatani lahan kering (padu gogo dan palawija). Keempat, harangan, hutan desa sebagai sumber rotan, kayu, dan getah.