Pisang atau gaol lazim dibudidayakan di porlak, kebun belakang rumah. Dia termasuk tanaman sumber pangan pertama yang diusahakan. Bersama-sama antirha, singkong  dan gadong insir, ubi jalar.
Penanaman pisang itu memiliki makna sosial-budaya dan sosial ekonomi. Secara sosial-budaya, pisang tergolong tanaman penanda huta, perkampungan. Ada pohon pisang, berarti ada kampung.
Ada nilai budaya saling-lapis antar warga kampung di balik penanaman pisang itu. Maksudnya, warga kampung harus marsiamin-aminan songon lampak ni gaol. Warga harus saling-lapis, bersatu, demi tegaknya entitas sosial kampung.
Secara sosial-ekonomi, pisang itu adalah tanaman utama dalam praktek permakultur, budidaya permanen, dalam masyarakat Batak. Sekali tanam untuk selamanya.
Tanaman pisang lazim tumbuh bergerumbul di belakang rumah orang Batak. Beranak-pinak di situ relatif tanpa pemeliharaan khusus. Â Tahunya panen buah, daun, dan jantung saja.
Varietas pisang yang lazim ditanam orang Batak di porlak adalah gaol singali-ngali (Musa acuminta), pisang dingin-dingin. Dikenal juga sebagai varian pisang mas atau jari nona (lady fingers banana). Disebut singali-ngali karena rasanya manis tapi dingin. Mungkin pengaruh udara dingin Toba.
Tentu dikenal juga jenis pisang lain. Seperti barangan, kepok, dan ambon. Tapi pisang singali-ngali boleh dibilang endemik Tanah Batak.
Karena itu jenis pisang singali-ngali boleh dikatakan hidup dalam dan menghidupi budaya masyarakat Batak. Saya akan ceritakan di bawah ini.
***
Tentu ini pengalaman budaya yang bersifat subyektif. Â Pengalaman di masa lalu, tahun 1960-an sampai awal 1980-an.
Artinya, saya mengalami eksistensi pisang sebagai bagian dari budaya Batak Toba selama 20 tahunan.