Belum sepenuhnya aku bisa menyambungkan tuturan dan tayangan, Mbak Pemandu sudah mempersilahkan untuk foto-fotoan. Pengunjung berebutanlah foto-fotoan dengan pose naik replika perahu. Seolah sedang berlayar di perairan Semarang lampau.
Ah, begitu rupanya teknologi imersif.
Dibolehkan foto-fotoan di museum. Mungkin untuk mengakomodasi kegetolan warganet +62 pamer status di Twitter atau Instagram. Hanya saja, tanpa alasan, dilarang menggunakan kamera profesional.
"Sekarang kita pindah ke ruang imersif."
"Bah! Tadi itu bukan imersif?"
Kami, pengunjung, bergerak mengikuti arahan Mbak Pemandu macam kerbau dicucuk hidung.
Sekali lagi lampu dipadamkan. Lampu disko warna-warni kerlap-kerlip. Â Foto Presiden Jokowi dan Menteri PUPR Basuki tertayang di dua sisi dinding.Â
Sumpeh, gue gak faham nape wajah dua tokoh besar yang masih sehat-walafiat itu ada di museum. Â Apakah sudah waktunya mereka dimuseumkan?
Film animasi mulai diputar. Di keempat sisi dinding ruangan tertayang suasana Semarang masa lalu, sekitar tahun 800-an. Mula-mula rawa belukar. Lalu muncul bangunan-bangunan pemukiman.Â
Pura-puranya kami sedang berada di tengah Semarang lama. Kan, imersif. Tapi aku tak merasa begitu, sih. Malah agak pusing.
Mbak Pemandu mulai bertutur. Tetap dengan tempo dan tone memburu macam tadi.