"Mohon tunggu lima menit lagi, ya, Pak. Sesi setengah tiga belum selesai."
Perempuan ramah tadi tepat janji. Pukul 15.00 WIB pintu museum dibuka. Seorang Mbak Pemandu dalam balutan blouse and slack hitam mengabsen pengunjung satu per satu secara manual. Â
"Jadi apa gunanya e-tiket barcode," gugatku dalam hati. Tadinya kupikir barcode itu cukup dihadapkan pada mesin pemindai. Ternyata justru manual.
Mendadak aku merasa bodoh dengan e-tiket di ponselku. Serasa menyimpan arsip digital unfaedah. "Bagaimana bisa museum berteknologi imersif ini tak dilengkapi mesin pemindai e-tiket?" Aku tak bisa menjawabnya.
"Mohon lepas alas kaki dan simpan di rak." Mbak Pemandu mengingatkan. Baguslah. Itu cara menjaga kebersihan lantai. Â
"Silahkan berdiri menghadap dinding." Kami, pengunjung, manut pada instruksi Mbak Pemandu. Berdiri menghadap dinding yang dilelekati sebuah replika perahu.
Lampu ruangan dimatikan. Gelap. Tiba-tiba kerlap-kerlip warna-warni lampu, berputar-putar macam di lantai disko.
Aku berdiri bodoh di pojok ruangan. Bingung tentang makna lampu disko itu. Tapi sebelum terpikirkan apapun, sebuah film animasi tertayang di dinding. Â
Animasi itu menggambarkan kesibukan Semarang sebagai kota pelabuhan niaga. Dulu, sampai abad 15, kota lama Semarang itu masih berupa kepulauan. Kira-kira garis pantainya berada di Simongan Semarang Barat, lokasi Kelenteng Sam Poo Kong sekarang. Laksamana Cheng Ho, penyebar Islam dari Cina, dulu (1405) berlabuh di situ. Â
Tampak dalam film kesibukan di pelabuhan. Ada pedagang Eropa (Belanda?), Arab, dan Cina. Ada serdadu Belanda. Lalu inlander sebagai kuli penarik gerobak. Serta perahu dan kapal hilir-mudik atau buang sauh.
Setidaknya begitulah penuturan Mbak Pemandu yang tempo bicaranya memburu. Semacam cerocos pacar cemburu. (Pangapunten inggih, Mbak.)