Aku menceritakan ini bukan untuk pamer. Apa pula yang bisa dipamerkan. Masa kecilku sampai remaja kudefinisikan sebagai periode kemiskinan musik. (Kelak itu kutebus saat kuliah dan setelah bekerja. Tapi itu cerita lain lagi).
Tapi semiskin apapun khasanah musikku waktu itu, aku tetap mensyukurinya sebagai warna-warni berkah yang mewarnai jiwaku. Hidup tanpa musik akan membuat jiwamu kerontang. Tak sehat itu.Â
Aku percaya musik mengayakan jiwa. Membuat multifaset jiwa menjadi komplit. Sedih, marah, gembira, kecewa, cinta, benci, rindu, bahagia, romantis, melankolis, dan lain sebagainya terbentuk lengkap semua. Musik atau lagu-lagu membantu proses pembentukan jiwa sehat itu.
Mendengar musik mungkin tak membuat otakmu langsung cerdas. Dalam arti meningkatkan IQ. Tapi, sekurangnya, musik menurut pengalamanku mampu membangun rasa, serta memicu imajinasi dan kreativitas.
Pada usia 20-an akhir, aku akhirnya mendengarkan Mozart juga. Tapi aku yakin itu tak menambah kecerdasanku, karena pertumbuhan otakku sudah mandeg. Tapi bisa kurasakan, mendengarkan musik Mozart, juga Beethoven, Bach, Chopin, Puccini, Mendelsohn, Tchaichovsky, Schubert, Bhrams, Verdy, Haydn, Paganini, dan lain sebagainya itu bisa membangun rasa.
Tapi jangan salah. Pada akhirnya aku mendengar juga Queen, Rolling Stone, Gun N' Roses, Chicago, Bruce Springsteen, Led Zeppelin, Bon Jovi, Stevie Wonder, Diana Ross. dan Michael Jackson. Walau tipis-tipis.Â
Jangan lupa pula. Aku akhirnya mendengar juga Leo Kristi, Gombloh, Iwan Falls, Franky & Jane, Farid Harja, Harry Rusli, Elvi Sukaesih, Rhoma Irama, Waljinah, Sundari Soekotjo, dan tentu saja Lord Didi.
Musik, apapun genrenya, baik untuk perkembangan dan kesehatan jiwamu. Tapi itu tergantung caramu mendengar juga, sih. Intinya, janganlah kau sinikal. Selalulah bersikap positif saat mendengar musik. (eFTe)
Â
Â
Â