Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Warna-Warni Musik yang Mewarnai Jiwaku Sampai Remaja

27 Mei 2023   07:15 Diperbarui: 27 Mei 2023   15:08 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak mendengar musik di radio (Foto: thoughco via suaramerdeka.com) 

Kata orang, mendengar komposisi klasik Mozart waktu balita, bisa bikin otak cerdas.

Kau boleh percaya itu, atau masa bodo. Tak penting itu bagiku. Masa balitaku sudah lewat terlalu lama. Waktu itu ayah-ibuku bahkan tak mendengar musik The Mercy's. Boro-boro Mozart.

Lagian, di era I(di)oT ini, menyarankan balita mendengar Mozart itu rada absurd. Selera musik para balita dan bundanya kini sudah canggih. Mereka doyan musik TikTok.

Aku ambil amannya saja. Musik dapat membantu membangun suasana hati. Sedih, romantis, gembira, marah, semangat, tenang, dan lain sebagainya. Tinggal pilih jenis musik yang sesuai.  

Semisal kamu mau membangun susana romantis di malam pertama dengan si dia, pilihanmu mestinya bukan lagu "Hati yang Luka" (Betharia Sonata) atau "Judi" (Rhoma Irama), bukan?  Tapi pantas-pantasnya kamu setel musik, misalnya, "L'amour interdit" (Gemini), bukan?

Tapi sudahlah. Ini bukan tentang itu. Melainkan ikhwal warna-warni musik yang mewarnai jiwaku sejak anak-anak sampai remaja. Membangun rasa yang, rasanya, "gado-gado" banget dalam diriku.  

***

Tahun 1960-an sampai awal 1970-an, masa kanak-kanakku di Panatapan (pseudonim), pedalaman Tanah Batak sana. Bagiku itu periode kemiskinan musik. Tak banyak musik yang kudengar waktu itu. Di luar lagu-lagu gereja yang selalu dinyanyikan secara acapella, tiap hari Minggu di gereja, tentu saja.  

Satu-satunya sarana pengantar musik ke telingaku waktu itu adalah radio tetangga. Itupun kalau anak gadisnya yang menyetel radio.

Maka kudengarlah lagu-lagu pop Indonesia mengudara.  "Bermain Tali" (Titik Sandhora dan Muchsin Alatas), "Teluk Bayur" (Ernie Djohan), "Sepasang Rusa" (Tetty Kadi), dan "Tiada Lagi" (The Mercy's), dan "Achir Tjinta" (Panbers). Itu untuk menyebut lagu-lagu yang lekat di hati.

Lagu "Bermain Tali" itu punya frasa yang membuatku heran. "Mari bermain tali bawah rumpun bambu."  Bawah rumpun bambu di kampungku adalah belukar berular. Bagaimana pula cara bermain tali di situ?

Begitupun lagu "Sepasang Rusa". Ada frasa "Sepasang rusa dilanda asmara." Sumpah tujuh tanjakan! Waktu itu aku tak mengerti arti kata "asmara". Kupikir itu semacam topan badai atau banjir badang. Jangan ketawa!

Kudengarkah musik Batak? Ya, sekali-sekali. Kalau kebetulan di kampung tetangga ada Gondang Batak. Atau di radio kebetulan diputar lagu-lagu Batak "klasik" lantunan vocal group Parisma 71 atau Trio Golden Heart. Semisal lagu-lagu "Rosita", ""Rura Silindung", "Marragam-ragam", "Lissoi", "Bunga Nabontar", dan "Pulo Samosir".

Terkadang ada pula kerabat yang berkunjung dari Sumatra Timur membawa serta tiprikorder (tape recorder). Dengan modal baterai kering, diputarlah kaset lagu-lagu opera Batak gubahan Tilhang Gultom. Semisal lagu-lagu "Mardalan Au Marsada-sada", "Jamila", "Siose Padan", dan "Supir Motor". Itu sebuah kemewahan yang teramat langka.

***

Pertengahan 1970-an, aku masuk asrama SMP Seminari Menengah Pematang Siantar. Mengejar cita-cita menjadi seorang pastor.

Aku tidak paham. Apakah aku tambah kaya atau miskin secara musikal di seminari. Tapi jelas aku kehilangan akses pada lagu-lagu di radio. Tak ada, atau terlarang, radio bagi anak seminari.

Namun ada yang baru. Aku, dan teman-teman, bisa mendengar lagu-lagu Barat. Sesuatu yang belum pernah kudengar sebelumnya.

Lagu-lagu itu diperdengarkan malam hari, lewat pengeras suara di ruang rekreasi. Aku, atau kami, mendengarkan sambil bermain kartu, catur, halma, ludo, ular tangga, karambol, dan lain-lain. 

Lagu-lagu yang kerap diperdengarkan adalah milik The Beatles, Bee Gees, The Cats, dan CCR. Itu dipilihkan oleh pastor pengawas. Kasetnya diputar di dalam ruang kerjanya. Kami cuma punya hak dengar.

Aku suka lagu-lagu Barat itu. Walau tak pernah bisa menangkap liriknya. Bukan karena aku budeg. Tapi karena bahasa Inggrisku jeblok. 

Di antara banyak lagu yang diperdengarkan selama tiga tahun aku di seminari, hanya beberapa lagu yang menempel di benakku. Itupun tak sepenuhnya nempel.

Dari The Beatles, aku paling ingat "Obladi Oblada". Tapi cuma frasa "Obladi oblada life goes on, brah." Kata "brah" waktu itu di telingaku terdengar sebagai "bah". Banggalah, The Beatles memasukkan kosa kata Batak ke dalam lagunya.

Lagu Bee Gees yang paling berkesan adalah "Don't Forget to Remember Me".  Dan satu-satunya frasa yang aku hafal dari lirik lagu itu adalah, ya itu tadi, "Don't forget to remember me (my love)." Aku pikir itulah intisari lagu itu. 

Dari The Cats, lagu yang paling mengesankanku adalah "Vaya Con Dios". Frasa yang berhasil kutangkap dari lirik lagu ini lumayan panjang. "Vaya con Dios my darling. Vaya con Dios, vaya con Dios my love." Cukup panjang, kan?

Aku diberitahu teman-teman anak Medan, lagu "Vaya con Dios" itu selalu diperdengarkan di KMP Tampomas saat kapal itu mulai bertolak dari Pelabuhan Belawan menuju Tanjung Priok Jakarta.

Sejak itu aku bercita-cita naik Tampomas ke Jakarta, agar bisa mendengarkan lagu itu. Sambil menyaksikan penumpang dan pengantar berurai air mata oleh perpisahan. Betul, itu cita-citaku.

Lagu CCR yang berkesan bagiku adalah "Proud Mary." Frasa yang kutangkap dari liriknya hanya ini:  "Rollin', rollin', rollin' on the river." Keren, kan?

Apakah aku benar-benar tak mendengarkan lagu pop Indonesia dan lagu Batak waktu di seminari? Tidak juga. Kan ada libur caturwulan. Boleh pulang kampung. Lalu numpang dengar lagu-lagu pop Indonesia dari radio tetangga.

Lagu Batak? Begini. Tiap hari Minggu pagi, sebubar gereja, anak-anak seminari itu boleh jalan-jalan ke luar asrama. Biasanya sih ke kota untuk cuci mata. Nah, sengajalah aku dan teman-teman lewat Kampung Kristen. Untuk numpang dengar lagu-lagu Batak Trio Golden Heart dari tiprikorder warga yang disetel keras-keras di dalam rumah.

Orang Batak di kampung dan di rantau Siantar itu punya kebiasaan menyetel volume suara tiprikorder sampai pol. Sehingga tetangga ikut mendengar lagu-lagu yang diputar. Kalau gak balas nyetel suara tiprikordernya keras-keras juga. Perang polusi suara, gitu deh.

Boleh dibilang, bersekolah di seminari telah menambah jenis musik yang mewarnai jiwaku. Lagu-lagu pop, country, dan rock and roll  berbahasa Inggris dari Barat. Itu melengkapi lagu Batak dan pop Indonesia.

Saat menginjak SMA di Porsea Toba, sebab dipecat dari seminari, perbendaharaan musikku tak berubah. Masih lagu Batak, lagu pop Indonesia, dan lagu Barat.

Lagu-lagu Batak waktu itu terutama disumbangkan Trio Golden Heart, Trio Lasidos , Eddy Silitonga, Rita Butarbutar, dan Christine Panjaitan.  

Aku bisa memutar kaset mereka di tiprikorder portabel yang baru dibeli bapakku. Itu jenis tiprikorder dengan tuas pengoperasian macam persneling mobil otomatis. Ke atas "main", ke samping kiri "mundur", ke samping kanan "maju".

Khasanah musik pop Indonesia juga bertambah waktu itu. Aku membeli kaset dan mendengar lagu-lagu pop Ade Manihutu ("Nona Anna"dan "Virgo") dan Eddy Silitonga ("Biarlah Sendiri", "Mama", "Jatuh Cinta"), ballada Ebiet G. Ade (album Camelia I dan Camelia II)  dan pop rock Black Brothers (lagu "Derita Tiada Akhir" dan "Hari Kiamat").

Eddy Silitonga sangat fenomenal waktu itu. Lagu-lagunya menggema sepanjang hari dari rumah-rumah, toko-toko, dan kedai-kedai.  Hanya orang dungu yang tak mendengarnya. Teman-temanku tergila-gila. Ada yang bikin tatto vertikal di dagunya, biar tampak macam model jenggot Eddy Silitonga.

Aku tak sefanatik itulah. Waktu itu aku cuma bikin stelan kemeja lengan panjang model uskup (gembung di ujung), dipadu celana panjang cutbray dan sepatu berhak 8 cm. Rambut dipanjangkan lewat kuping dan dagu digores kehitaman pakai pinsil B2. Bergaya, deh.  Cobalah kau maklumi, betapa kerennya aku waktu itu.

Di kaki lima kota Porsea waktu itu aku beli juga dua kaset kompilasi. Satu kaset lagu-lagu Indonesia, ada lagu "Widuri" dari Bob Tutupoli. Satu lagi kaset lagu-lagu Barat, ada lagu "Feelings" (Morris Albert), "Song Sung Blue" (Neil Diamond), dan "Still" (The Commodores/Lionel Ritchie).

Tiga lagu tersebut terakhir itulah lagu Barat paling berkesan yang kudengar selama sekolah di SMA. Tapi jangan tanya liriknya. Aku gak pernah bisa nangkap waktu itu. Listeningku memang parah.

Setamat SMA aku beruntung diterima kuliah di sebuah perguruan tinggi terkenal di Bogor. Nah, ingat cita-citaku, bukan? Aku bercita-cita naik KMP Tampomas dari Belawan ke Tanjung Priok, demi mendengar lagu "Vaya Con Dios" dari The Cats dilantunkan saat kapal mulai bertolak. Aku ingin sekali menikmati rasa haru dan banjir air mata.

Tapi untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Tampomas rusak. Maka gagallah cita-citaku tercapai -- sampai kini. Terpaksalah aku naik kapal terbang Mandala jurusan Polonia-Kemayoran waktu itu. Tanpa iringan lagu "Vaya Con Dios". Sedih kalipun rasa hatiku saat itu. 

***

Aku menceritakan ini bukan untuk pamer. Apa pula yang bisa dipamerkan. Masa kecilku sampai remaja kudefinisikan sebagai periode kemiskinan musik. (Kelak itu kutebus saat kuliah dan setelah bekerja. Tapi itu cerita lain lagi).

Tapi semiskin apapun khasanah musikku waktu itu, aku tetap mensyukurinya sebagai warna-warni berkah yang mewarnai jiwaku. Hidup tanpa musik akan membuat jiwamu kerontang. Tak sehat itu. 

Aku percaya musik mengayakan jiwa. Membuat multifaset jiwa menjadi komplit. Sedih, marah, gembira, kecewa, cinta, benci, rindu, bahagia, romantis, melankolis, dan lain sebagainya terbentuk lengkap semua. Musik atau lagu-lagu membantu proses pembentukan jiwa sehat itu.

Mendengar musik mungkin tak membuat otakmu langsung cerdas. Dalam arti meningkatkan IQ. Tapi, sekurangnya, musik menurut pengalamanku mampu membangun rasa, serta memicu imajinasi dan kreativitas.

Pada usia 20-an akhir, aku akhirnya mendengarkan Mozart juga. Tapi aku yakin itu tak menambah kecerdasanku, karena pertumbuhan otakku sudah mandeg. Tapi bisa kurasakan, mendengarkan musik Mozart, juga Beethoven, Bach, Chopin, Puccini, Mendelsohn, Tchaichovsky, Schubert, Bhrams, Verdy, Haydn, Paganini, dan lain sebagainya itu bisa membangun rasa.

Tapi jangan salah. Pada akhirnya aku mendengar juga Queen, Rolling Stone, Gun N' Roses, Chicago, Bruce Springsteen, Led Zeppelin, Bon Jovi, Stevie Wonder, Diana Ross. dan Michael Jackson. Walau tipis-tipis. 

Jangan lupa pula. Aku akhirnya mendengar juga Leo Kristi, Gombloh, Iwan Falls, Franky & Jane, Farid Harja, Harry Rusli, Elvi Sukaesih, Rhoma Irama, Waljinah, Sundari Soekotjo, dan tentu saja Lord Didi.

Musik, apapun genrenya, baik untuk perkembangan dan kesehatan jiwamu. Tapi itu tergantung caramu mendengar juga, sih. Intinya, janganlah kau sinikal. Selalulah bersikap positif saat mendengar musik. (eFTe)

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun