Kata orang, mendengar komposisi klasik Mozart waktu balita, bisa bikin otak cerdas.
Kau boleh percaya itu, atau masa bodo. Tak penting itu bagiku. Masa balitaku sudah lewat terlalu lama. Waktu itu ayah-ibuku bahkan tak mendengar musik The Mercy's. Boro-boro Mozart.
Lagian, di era I(di)oT ini, menyarankan balita mendengar Mozart itu rada absurd. Selera musik para balita dan bundanya kini sudah canggih. Mereka doyan musik TikTok.
Baca juga: Pada Suatu Pagi di Kebalen Surakarta
Aku ambil amannya saja. Musik dapat membantu membangun suasana hati. Sedih, romantis, gembira, marah, semangat, tenang, dan lain sebagainya. Tinggal pilih jenis musik yang sesuai. Â
Semisal kamu mau membangun susana romantis di malam pertama dengan si dia, pilihanmu mestinya bukan lagu "Hati yang Luka" (Betharia Sonata) atau "Judi" (Rhoma Irama), bukan? Â Tapi pantas-pantasnya kamu setel musik, misalnya, "L'amour interdit" (Gemini), bukan?
Tapi sudahlah. Ini bukan tentang itu. Melainkan ikhwal warna-warni musik yang mewarnai jiwaku sejak anak-anak sampai remaja. Membangun rasa yang, rasanya, "gado-gado" banget dalam diriku. Â
***
Tahun 1960-an sampai awal 1970-an, masa kanak-kanakku di Panatapan (pseudonim), pedalaman Tanah Batak sana. Bagiku itu periode kemiskinan musik. Tak banyak musik yang kudengar waktu itu. Di luar lagu-lagu gereja yang selalu dinyanyikan secara acapella, tiap hari Minggu di gereja, tentu saja. Â
Satu-satunya sarana pengantar musik ke telingaku waktu itu adalah radio tetangga. Itupun kalau anak gadisnya yang menyetel radio.
Maka kudengarlah lagu-lagu pop Indonesia mengudara. Â "Bermain Tali" (Titik Sandhora dan Muchsin Alatas), "Teluk Bayur" (Ernie Djohan), "Sepasang Rusa" (Tetty Kadi), dan "Tiada Lagi" (The Mercy's), dan "Achir Tjinta" (Panbers). Itu untuk menyebut lagu-lagu yang lekat di hati.