Lagu "Bermain Tali" itu punya frasa yang membuatku heran. "Mari bermain tali bawah rumpun bambu." Â Bawah rumpun bambu di kampungku adalah belukar berular. Bagaimana pula cara bermain tali di situ?
Begitupun lagu "Sepasang Rusa". Ada frasa "Sepasang rusa dilanda asmara." Sumpah tujuh tanjakan! Waktu itu aku tak mengerti arti kata "asmara". Kupikir itu semacam topan badai atau banjir badang. Jangan ketawa!
Kudengarkah musik Batak? Ya, sekali-sekali. Kalau kebetulan di kampung tetangga ada Gondang Batak. Atau di radio kebetulan diputar lagu-lagu Batak "klasik" lantunan vocal group Parisma 71 atau Trio Golden Heart. Semisal lagu-lagu "Rosita", ""Rura Silindung", "Marragam-ragam", "Lissoi", "Bunga Nabontar", dan "Pulo Samosir".
Terkadang ada pula kerabat yang berkunjung dari Sumatra Timur membawa serta tiprikorder (tape recorder). Dengan modal baterai kering, diputarlah kaset lagu-lagu opera Batak gubahan Tilhang Gultom. Semisal lagu-lagu "Mardalan Au Marsada-sada", "Jamila", "Siose Padan", dan "Supir Motor". Itu sebuah kemewahan yang teramat langka.
***
Pertengahan 1970-an, aku masuk asrama SMP Seminari Menengah Pematang Siantar. Mengejar cita-cita menjadi seorang pastor.
Aku tidak paham. Apakah aku tambah kaya atau miskin secara musikal di seminari. Tapi jelas aku kehilangan akses pada lagu-lagu di radio. Tak ada, atau terlarang, radio bagi anak seminari.
Namun ada yang baru. Aku, dan teman-teman, bisa mendengar lagu-lagu Barat. Sesuatu yang belum pernah kudengar sebelumnya.
Lagu-lagu itu diperdengarkan malam hari, lewat pengeras suara di ruang rekreasi. Aku, atau kami, mendengarkan sambil bermain kartu, catur, halma, ludo, ular tangga, karambol, dan lain-lain.Â
Lagu-lagu yang kerap diperdengarkan adalah milik The Beatles, Bee Gees, The Cats, dan CCR. Itu dipilihkan oleh pastor pengawas. Kasetnya diputar di dalam ruang kerjanya. Kami cuma punya hak dengar.
Aku suka lagu-lagu Barat itu. Walau tak pernah bisa menangkap liriknya. Bukan karena aku budeg. Tapi karena bahasa Inggrisku jeblok.Â