Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Revolusi Demokrasi: Ketika Desa Belajar Menjadi Kota

17 Februari 2023   11:24 Diperbarui: 18 Februari 2023   05:13 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kades dari seluruh Indonesia berkumpul di parkir timur Senayan, Jakarta, sebelum  menyuarakan aspirasi dan audiensi ke DPR RI menuntut perpanjangan masa jabatan, Selasa (17/1/2023).(Dok. Bahrul Ghofar/Kompas.com)

Apa yang menarik dari unjuk rasa kepala desa (kades) di Gedung DPR Senayan baru-baru ini?

Ikhwal tuntutan perpanjangan masa jabatan kades dari 6 menjadi 9 tahun?

Tidak. Itu sama sekali tak menarik. Sebab tuntutan itu bukan saja tak berdasar.  Lebih dari itu, ia tidak esensil sama sekali. Tak ada hubungannya dengan program-program pembangunan desa yang belum tuntas.

Durasi masa jabatan kades tak akan pernah menjadi soal, apabila pembangunan desa dijalankan di atas prinsip keberlanjutan. Yang belum tuntas oleh kades lama, dilanjutkan kades baru.

Lain hal kalau ganti kepala desa ganti program. Maka desa hanya akan menjadi laboratorium praktek kepemimpinan desa. Nasib desa akan menjadi semacam Sisyphus. Terguling kembali ke kaki gunung setiap kali ganti kades.

Lagi pula bisa jadi preseden buruk, bukan?

Kalau masa jabatan kepala desa bisa diamandemen dari 6 menjadi 9 tahun, maka masa jabatan bupati/walikota, gubernur, dan presiden bisa juga diperpanjang, dong. Alasannya sama: demi ketuntasan program pembangunan.

Terang benar. Tuntutan perpanjangan masa jabatan kades itu tak ada logikanya. Kalau bukan sebuah sesat pikir.

Karena itu, saya tak tertarik membahas isi tuntutan unjuk rasa para kades, dan kemudian juga aparat desa, tersebut. Itu hanya sesuatu yang manifes  tapi tak substantif.

Di balik yang manifes itu ada sesuatu yang laten, substantif, yakni modernisasi desa yang bias kota, khususnya di ranah politik demokrasi.  

Saya hendak mengajukan tesis tentang "revolusi demokrasi pedesaan" di sini. Itu sesuatu yang  teramati sebagai  bagian integral gejala yang saya sebut "desa belajar menjadi kota".

Saya akan jelaskan di bawah ini.

***

Konsepsi "desa belajar menjadi kota" itu merujuk orientasi pembangunan pedesaan Indonesia yang dituntun paradigma modernisasi.

Barang siapa belajar sosiologi pedesaan Indonesia, akan segera tahu dua nama yang menjadi rujukan utama program modernisasi pedesaan di negeri ini.

Pertama, Robert Redfield, antropolog Amerika. Dia mengkonsepsikan  kota sebagai "tradisi besar" dan desa sebagai "tradisi kecil". 

Menurut Redfield orientasi desa untuk kemajuan dalam segala aspek budaya adalah kota. Artinya, desa belajar menjadi kota. (R. Redfield, The Primitive World and Its Transformations, Ithaca, NY: Cornell University Press, 1953)

Kedua, Arthur T. Mosher. ekonom Amerika. Dia merumuskan bahwa pembangunan ekonomi nasional harus dimulai dengan modernisasi pertanian di pedesaan.

Mosher merinci  lima syarat pokok modernisasi pertanian: pasar, teknologi baru,  sarana produksi, insentif, dan transportasi.   (A.T. Mosher. Getting Agriculture Moving: essentials for development and modernization, New York: ADC, 1966)

Jadi begitulah. Redfield memberi model, dan juga deskripsi empiris (kasus Meksiko), bagaimana  "desa belajar menjadi kota". Sedangkan Mosher memberi rambu bagaimana "(orang kota) mengajar desa menjadi kota", lewat modernisasi ekonomi peertanian.

Bukan kebetulan jika pembangunan Indonesia mengadopsi teori modernisasi produk pikir Amerika Serikat (AS). Orde Baru adalah murid Liberalisme (ekonomi kapitalis dan politik demokratis) AS. Redfield dan Mosher -- keduanya produk Universitas Chicago -- termasuk pendukung utamanya.  

Mosher bahkan menjadi Direktur Agriculture Development Council (ADC) AS yang aktif memberi konsultasi pembangunan (baca: modernisasi) pertanian/pedesaan untuk negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Di bawah arahan teknokrat "Mafia Berkeley" produk AS, pemerintah Orde Baru kemudian merancang dan menjalankan modernisasi Indonesia sebagai pembangunan berpusat pada ekonomi. 

Target sekaligus instrumennya dirumuskan sebagai Trilogi Pembangunan: stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan.

Cara membaca trilogi itu begini. Tegakkan stabilitas (sosial-politik) untuk menjamin pertimbuhan (ekonomi) yang tinggi, sehingga pemerataan akan tercapai lewat mekanisme tetesan ke bawah (trickle down effect). 

Bagaimana jika efek tetesan ke bawah terlalu kecil, sehingga rakyat miskin resah dan protes?  Gampang. Tegakkan stabilitas dengan pendekatan militeristik: bungkam suara dan redam gerakan protes. Pertumbuhan ekonomi adalah "panglima besar" yang harus dikawal.

Persis, begitulah yang terjadi di pedesaan Indonesia sepanjang masa Orde Baru. Modernisasi pedesaan, khususnya pertanian, dikawal dengan pendekatan korporatisme yang menjadikan desa sebagai instrumen pemerintah pusat. 

Dalam struktur politik korporatisme itu kades dan aparatur desa adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat. Tepatnya, pelaksana kepentingan pusat. Bukan pengemban mandat rakyat desa.

Untuk memastikan desa tidak mbalelo, pemerintah pusat mengambil dua langkah strategis.

Pertama, de-politisasi desa melalui penerapan politik "massa mengambang". Desa disterilkan dari kegiatan politik praktis. Aspirasi rakyat dibungkam. Gerakan perlawanan diberangus. Partai politik dilarang masuk desa.

Kedua, diktasi (pendiktean) desa melalui penempatan "pesuruh pemerintah" sebagai ujung tombak "pembangunan desa". Mereka adalah aparat Juru Penerang (sosial-politik), Penyuluh Pertanian (sosek pertanian), dan Babinsa/Bhabinkamtibmas (hankam). Kepentingan pemerintah pusat disalurkan melalui ujung tombak itu.

Jelas, pembangunan pertanian dan pedesaan Indonesia selama Orde Baru berlangsung dalam "kesenyapan desa". Tidak ada kebebasan berbicara bernama demokrasi untuk menyampaikan protes atau ketakpuasan kepada pemerintah.  

"Tukang bicara" semacam itu akan segera mendapat stempel "anti-Pancasila" atau "anti-pembangunan". Tak sedikit yang KTP-nya mendapat stempel OT (Organisasi Terlarang alias PKI). 

Jika coba-coba bikin gerakan perlawanan, cap GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) akan segera dikenakan. Itu berarti sah untuk diberantas. 

Jadi demokrasi desa selama Orde Baru sebenarnya lebih sebagai "demokrasi terkontrol".  Suara desa hanya boleh naik ke atas melalui jalur birokrasi pemerintah. Atau melalui jalur DPRD yang kebetulan "turba" (turun ke bawah). 

Itu saluran aspirasi politik  terkontrol. Sudah ditentukan siapa saja yang boleh bicara dan apa saja yang boleh disampaikan. 

Begitulah realitasnya, sampai kemudian Orde Reformasi datang tahun 1998.

***

Kejatuhan Orde Baru, atau naiknya Orde Reformasi (1998 - kini), bisa dibilang sebagai titik-balik demokrasi di Indonesia. Suatu pembalikan yang tergolong revolusioner. Dari "demokrasi terkontrol" (dengan label Pancasila) ke "demokrasi liberal", atau mungkin "semi-liberal" -- liberal tapi pro-Pancasila (?).

"Revolusi demokrasi" itu ditandai oleh tiga langkah politis mendasar.

Pertama, pergeseran koridor perpolitikan dari sistem tiga partai menjadi multi-partai. Masa politik tiga aliran, yaitu "priyayi" (Golkar),  "santri" (PPP), dan "abangan" (PDI), dengan dominasi Golkar yang menciptakan pola monolitik, berakhir sudah. Berganti dengan multi-aliran --  sebenarnya variasi dari priyayi/santri/abangan --  yang euforis, nyaris hiruk-pikuk.

Kedua, perubahan sistem pemilihan eksekutif (pilpres, pilkada) dan legislatif (DPR/DPRD) dari sistem perwakilan (atau penunjukan) menjadi pemilihan langsung. Sebuah perubahan yang mengedepankan pemungutan suara (voting, liberal) ketimbang musyawarah untuk mufakat (Sila ke-4). Hal itu terbawa juga ke desa yang tadinya cenderung musyawarah dalam pemilihan kades.

Ketiga, penerbitan UU Nomor 6/2014 tentang Desa. Undang-Undang  ini membuka pintu bagi partai politik lewat DPR untuk masuk ke desa dengan justifikasi pengawasan pembangunan desa.  Itu artinya era politik "massa mengambang" telah berakhir di desa. Parpol bisa masuk desa dan mendudukkan kadernya sebagai kades.

Tapi bukan hanya partai. Lembaga-lembaga masyarakat sipil dalam rupa LSM dan Ormas juga membanjiri desa. Mereka masuk desa di atas alas demokrasi demi demokratisasi.

Apa yang dibawakan parpol dan LSM/ormas ke desa sejatinya adalah gagasan demokrasi liberal ala kota. Itu artinya, orang kota datang mengajari orang desa berdemokrasi. 

Itu dari satu sisi. Dari sisi lain, orang desa juga belajar demokrasi kota secara otodidak melalui proses migrasi sirkuler desa-kota. Mereka menonton ekspresi demokrasi perkotaan, antara lain model-model "parlemen jalanan". 

Setelah sejak 1970 (atau tahun-tahun awal Orde Baru) desa diajari atau belajar menjadi kota, maka kini bisa disaksikan hasilnya.

Pertama, di bidang ekonomi, desa sudah mengadopsi moda produksi kapitalisme ala kota, sehingga sudah siap melayani kepentingan kota (pangan, papan) dan menjadi pasar bagi kota (sandang, dan produk industri lainnya).  Kelembagaan ekonomi desa, semacam KUD dan BUMDes, tampil sebagai tanfan-tangan kapitalisme.

Kedua, di bidang budaya, desa telah menjadi duplikat periferal bagi kota. Unsur-unsur budaya kota -- sikap, tindakan, dan sarana benda -- kini telah  mewarnai kehidupan sosial pedesaan.

Ketiga, di bidang politik, model demokrasi terkendali sudah memudar, digantikan oleh midel demokrasi semi-liberal ala artikulasi dokrasi perkotaan. Hak menyatakan pendapat kini tak hanya lewat DPR dan pers saja, tapi juga lewat "parlemen jalanan" semacam demonstrasi atau unjuk rasa.

Jadi, bila hari-hari ini kita disuguhi dengan unjuk rasa besar-besaran kades dan aparat desa ke DPR Senayan, dan mungkin nanti juga LMD dan LPMD, maka terimalah itu sebagai hasil belajar desa menjadi kota.

Sebelum itu, sudah kerap juga terjadi kelompok-kelompok masyarakat desa unjuk rasa ke DPRD dan DPR RI. Lazimnya diorganisir oleh LSM atau Ormas pro-demokrasi.

Tak ada yang perlu dipersalahkan di situ. Itu adalah buah  sejarah politik pembangunan Indonesia sejak Orde Baru sampai sekarang. Bukan salah kota mengajari desa, dan bukan salah desa pula belajar menjadi desa.

Pilihan paradigma modernisasi untuk pembangunan nasional telah menarik garis linier bagi desa untuk menjadi kota. Garis linier yang, disadari atau tidak,  bahkan dikukuhkan dengan UU Nomor 6/2014 tentang Desa.  

Jika orientasi desa menjadi kota itu dinilai sebagai kekeliruan, maka paradigma pembangunanlah yang harus dikoreksi. 

Daripada membuat garis linier kontinuum desa menjadi kota, tidakkah sebaiknya membuat jalur double-helix yang memungkinkan kota dan desa bergerak saling-dukung menuju masa depan masing-masing?  

Tentu, UU Nomor 6/2014 tentang Desa harus diamandemen secara mendasar dan holistik, untuk membebaskan desa dari subordinasi kota seperti sekarang. (eFTe)

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun