Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Revolusi Demokrasi: Ketika Desa Belajar Menjadi Kota

17 Februari 2023   11:24 Diperbarui: 18 Februari 2023   05:13 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kades dari seluruh Indonesia berkumpul di parkir timur Senayan, Jakarta, sebelum  menyuarakan aspirasi dan audiensi ke DPR RI menuntut perpanjangan masa jabatan, Selasa (17/1/2023).(Dok. Bahrul Ghofar/Kompas.com)

Tapi bukan hanya partai. Lembaga-lembaga masyarakat sipil dalam rupa LSM dan Ormas juga membanjiri desa. Mereka masuk desa di atas alas demokrasi demi demokratisasi.

Apa yang dibawakan parpol dan LSM/ormas ke desa sejatinya adalah gagasan demokrasi liberal ala kota. Itu artinya, orang kota datang mengajari orang desa berdemokrasi. 

Itu dari satu sisi. Dari sisi lain, orang desa juga belajar demokrasi kota secara otodidak melalui proses migrasi sirkuler desa-kota. Mereka menonton ekspresi demokrasi perkotaan, antara lain model-model "parlemen jalanan". 

Setelah sejak 1970 (atau tahun-tahun awal Orde Baru) desa diajari atau belajar menjadi kota, maka kini bisa disaksikan hasilnya.

Pertama, di bidang ekonomi, desa sudah mengadopsi moda produksi kapitalisme ala kota, sehingga sudah siap melayani kepentingan kota (pangan, papan) dan menjadi pasar bagi kota (sandang, dan produk industri lainnya).  Kelembagaan ekonomi desa, semacam KUD dan BUMDes, tampil sebagai tanfan-tangan kapitalisme.

Kedua, di bidang budaya, desa telah menjadi duplikat periferal bagi kota. Unsur-unsur budaya kota -- sikap, tindakan, dan sarana benda -- kini telah  mewarnai kehidupan sosial pedesaan.

Ketiga, di bidang politik, model demokrasi terkendali sudah memudar, digantikan oleh midel demokrasi semi-liberal ala artikulasi dokrasi perkotaan. Hak menyatakan pendapat kini tak hanya lewat DPR dan pers saja, tapi juga lewat "parlemen jalanan" semacam demonstrasi atau unjuk rasa.

Jadi, bila hari-hari ini kita disuguhi dengan unjuk rasa besar-besaran kades dan aparat desa ke DPR Senayan, dan mungkin nanti juga LMD dan LPMD, maka terimalah itu sebagai hasil belajar desa menjadi kota.

Sebelum itu, sudah kerap juga terjadi kelompok-kelompok masyarakat desa unjuk rasa ke DPRD dan DPR RI. Lazimnya diorganisir oleh LSM atau Ormas pro-demokrasi.

Tak ada yang perlu dipersalahkan di situ. Itu adalah buah  sejarah politik pembangunan Indonesia sejak Orde Baru sampai sekarang. Bukan salah kota mengajari desa, dan bukan salah desa pula belajar menjadi desa.

Pilihan paradigma modernisasi untuk pembangunan nasional telah menarik garis linier bagi desa untuk menjadi kota. Garis linier yang, disadari atau tidak,  bahkan dikukuhkan dengan UU Nomor 6/2014 tentang Desa.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun