Mosher bahkan menjadi Direktur Agriculture Development Council (ADC) AS yang aktif memberi konsultasi pembangunan (baca: modernisasi) pertanian/pedesaan untuk negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Di bawah arahan teknokrat "Mafia Berkeley" produk AS, pemerintah Orde Baru kemudian merancang dan menjalankan modernisasi Indonesia sebagai pembangunan berpusat pada ekonomi.Â
Target sekaligus instrumennya dirumuskan sebagai Trilogi Pembangunan: stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan.
Cara membaca trilogi itu begini. Tegakkan stabilitas (sosial-politik) untuk menjamin pertimbuhan (ekonomi) yang tinggi, sehingga pemerataan akan tercapai lewat mekanisme tetesan ke bawah (trickle down effect).Â
Bagaimana jika efek tetesan ke bawah terlalu kecil, sehingga rakyat miskin resah dan protes? Â Gampang. Tegakkan stabilitas dengan pendekatan militeristik: bungkam suara dan redam gerakan protes. Pertumbuhan ekonomi adalah "panglima besar" yang harus dikawal.
Persis, begitulah yang terjadi di pedesaan Indonesia sepanjang masa Orde Baru. Modernisasi pedesaan, khususnya pertanian, dikawal dengan pendekatan korporatisme yang menjadikan desa sebagai instrumen pemerintah pusat.Â
Dalam struktur politik korporatisme itu kades dan aparatur desa adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat. Tepatnya, pelaksana kepentingan pusat. Bukan pengemban mandat rakyat desa.
Untuk memastikan desa tidak mbalelo, pemerintah pusat mengambil dua langkah strategis.
Pertama, de-politisasi desa melalui penerapan politik "massa mengambang". Desa disterilkan dari kegiatan politik praktis. Aspirasi rakyat dibungkam. Gerakan perlawanan diberangus. Partai politik dilarang masuk desa.
Kedua, diktasi (pendiktean) desa melalui penempatan "pesuruh pemerintah" sebagai ujung tombak "pembangunan desa". Mereka adalah aparat Juru Penerang (sosial-politik), Penyuluh Pertanian (sosek pertanian), dan Babinsa/Bhabinkamtibmas (hankam). Kepentingan pemerintah pusat disalurkan melalui ujung tombak itu.
Jelas, pembangunan pertanian dan pedesaan Indonesia selama Orde Baru berlangsung dalam "kesenyapan desa". Tidak ada kebebasan berbicara bernama demokrasi untuk menyampaikan protes atau ketakpuasan kepada pemerintah. Â