Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Revolusi Demokrasi: Ketika Desa Belajar Menjadi Kota

17 Februari 2023   11:24 Diperbarui: 18 Februari 2023   05:13 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kades dari seluruh Indonesia berkumpul di parkir timur Senayan, Jakarta, sebelum  menyuarakan aspirasi dan audiensi ke DPR RI menuntut perpanjangan masa jabatan, Selasa (17/1/2023).(Dok. Bahrul Ghofar/Kompas.com)

Mosher bahkan menjadi Direktur Agriculture Development Council (ADC) AS yang aktif memberi konsultasi pembangunan (baca: modernisasi) pertanian/pedesaan untuk negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Di bawah arahan teknokrat "Mafia Berkeley" produk AS, pemerintah Orde Baru kemudian merancang dan menjalankan modernisasi Indonesia sebagai pembangunan berpusat pada ekonomi. 

Target sekaligus instrumennya dirumuskan sebagai Trilogi Pembangunan: stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan.

Cara membaca trilogi itu begini. Tegakkan stabilitas (sosial-politik) untuk menjamin pertimbuhan (ekonomi) yang tinggi, sehingga pemerataan akan tercapai lewat mekanisme tetesan ke bawah (trickle down effect). 

Bagaimana jika efek tetesan ke bawah terlalu kecil, sehingga rakyat miskin resah dan protes?  Gampang. Tegakkan stabilitas dengan pendekatan militeristik: bungkam suara dan redam gerakan protes. Pertumbuhan ekonomi adalah "panglima besar" yang harus dikawal.

Persis, begitulah yang terjadi di pedesaan Indonesia sepanjang masa Orde Baru. Modernisasi pedesaan, khususnya pertanian, dikawal dengan pendekatan korporatisme yang menjadikan desa sebagai instrumen pemerintah pusat. 

Dalam struktur politik korporatisme itu kades dan aparatur desa adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat. Tepatnya, pelaksana kepentingan pusat. Bukan pengemban mandat rakyat desa.

Untuk memastikan desa tidak mbalelo, pemerintah pusat mengambil dua langkah strategis.

Pertama, de-politisasi desa melalui penerapan politik "massa mengambang". Desa disterilkan dari kegiatan politik praktis. Aspirasi rakyat dibungkam. Gerakan perlawanan diberangus. Partai politik dilarang masuk desa.

Kedua, diktasi (pendiktean) desa melalui penempatan "pesuruh pemerintah" sebagai ujung tombak "pembangunan desa". Mereka adalah aparat Juru Penerang (sosial-politik), Penyuluh Pertanian (sosek pertanian), dan Babinsa/Bhabinkamtibmas (hankam). Kepentingan pemerintah pusat disalurkan melalui ujung tombak itu.

Jelas, pembangunan pertanian dan pedesaan Indonesia selama Orde Baru berlangsung dalam "kesenyapan desa". Tidak ada kebebasan berbicara bernama demokrasi untuk menyampaikan protes atau ketakpuasan kepada pemerintah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun