"Tukang bicara" semacam itu akan segera mendapat stempel "anti-Pancasila" atau "anti-pembangunan". Tak sedikit yang KTP-nya mendapat stempel OT (Organisasi Terlarang alias PKI).Â
Jika coba-coba bikin gerakan perlawanan, cap GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) akan segera dikenakan. Itu berarti sah untuk diberantas.Â
Jadi demokrasi desa selama Orde Baru sebenarnya lebih sebagai "demokrasi terkontrol". Â Suara desa hanya boleh naik ke atas melalui jalur birokrasi pemerintah. Atau melalui jalur DPRD yang kebetulan "turba" (turun ke bawah).Â
Itu saluran aspirasi politik  terkontrol. Sudah ditentukan siapa saja yang boleh bicara dan apa saja yang boleh disampaikan.Â
Begitulah realitasnya, sampai kemudian Orde Reformasi datang tahun 1998.
***
Kejatuhan Orde Baru, atau naiknya Orde Reformasi (1998 - kini), bisa dibilang sebagai titik-balik demokrasi di Indonesia. Suatu pembalikan yang tergolong revolusioner. Dari "demokrasi terkontrol" (dengan label Pancasila) ke "demokrasi liberal", atau mungkin "semi-liberal" -- liberal tapi pro-Pancasila (?).
"Revolusi demokrasi" itu ditandai oleh tiga langkah politis mendasar.
Pertama, pergeseran koridor perpolitikan dari sistem tiga partai menjadi multi-partai. Masa politik tiga aliran, yaitu "priyayi" (Golkar), Â "santri" (PPP), dan "abangan" (PDI), dengan dominasi Golkar yang menciptakan pola monolitik, berakhir sudah. Berganti dengan multi-aliran -- Â sebenarnya variasi dari priyayi/santri/abangan -- Â yang euforis, nyaris hiruk-pikuk.
Kedua, perubahan sistem pemilihan eksekutif (pilpres, pilkada) dan legislatif (DPR/DPRD) dari sistem perwakilan (atau penunjukan) menjadi pemilihan langsung. Sebuah perubahan yang mengedepankan pemungutan suara (voting, liberal) ketimbang musyawarah untuk mufakat (Sila ke-4). Hal itu terbawa juga ke desa yang tadinya cenderung musyawarah dalam pemilihan kades.
Ketiga, penerbitan UU Nomor 6/2014 tentang Desa. Undang-Undang  ini membuka pintu bagi partai politik lewat DPR untuk masuk ke desa dengan justifikasi pengawasan pembangunan desa.  Itu artinya era politik "massa mengambang" telah berakhir di desa. Parpol bisa masuk desa dan mendudukkan kadernya sebagai kades.