Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Revolusi Demokrasi: Ketika Desa Belajar Menjadi Kota

17 Februari 2023   11:24 Diperbarui: 18 Februari 2023   05:13 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kades dari seluruh Indonesia berkumpul di parkir timur Senayan, Jakarta, sebelum  menyuarakan aspirasi dan audiensi ke DPR RI menuntut perpanjangan masa jabatan, Selasa (17/1/2023).(Dok. Bahrul Ghofar/Kompas.com)

"Tukang bicara" semacam itu akan segera mendapat stempel "anti-Pancasila" atau "anti-pembangunan". Tak sedikit yang KTP-nya mendapat stempel OT (Organisasi Terlarang alias PKI). 

Jika coba-coba bikin gerakan perlawanan, cap GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) akan segera dikenakan. Itu berarti sah untuk diberantas. 

Jadi demokrasi desa selama Orde Baru sebenarnya lebih sebagai "demokrasi terkontrol".  Suara desa hanya boleh naik ke atas melalui jalur birokrasi pemerintah. Atau melalui jalur DPRD yang kebetulan "turba" (turun ke bawah). 

Itu saluran aspirasi politik  terkontrol. Sudah ditentukan siapa saja yang boleh bicara dan apa saja yang boleh disampaikan. 

Begitulah realitasnya, sampai kemudian Orde Reformasi datang tahun 1998.

***

Kejatuhan Orde Baru, atau naiknya Orde Reformasi (1998 - kini), bisa dibilang sebagai titik-balik demokrasi di Indonesia. Suatu pembalikan yang tergolong revolusioner. Dari "demokrasi terkontrol" (dengan label Pancasila) ke "demokrasi liberal", atau mungkin "semi-liberal" -- liberal tapi pro-Pancasila (?).

"Revolusi demokrasi" itu ditandai oleh tiga langkah politis mendasar.

Pertama, pergeseran koridor perpolitikan dari sistem tiga partai menjadi multi-partai. Masa politik tiga aliran, yaitu "priyayi" (Golkar),  "santri" (PPP), dan "abangan" (PDI), dengan dominasi Golkar yang menciptakan pola monolitik, berakhir sudah. Berganti dengan multi-aliran --  sebenarnya variasi dari priyayi/santri/abangan --  yang euforis, nyaris hiruk-pikuk.

Kedua, perubahan sistem pemilihan eksekutif (pilpres, pilkada) dan legislatif (DPR/DPRD) dari sistem perwakilan (atau penunjukan) menjadi pemilihan langsung. Sebuah perubahan yang mengedepankan pemungutan suara (voting, liberal) ketimbang musyawarah untuk mufakat (Sila ke-4). Hal itu terbawa juga ke desa yang tadinya cenderung musyawarah dalam pemilihan kades.

Ketiga, penerbitan UU Nomor 6/2014 tentang Desa. Undang-Undang  ini membuka pintu bagi partai politik lewat DPR untuk masuk ke desa dengan justifikasi pengawasan pembangunan desa.  Itu artinya era politik "massa mengambang" telah berakhir di desa. Parpol bisa masuk desa dan mendudukkan kadernya sebagai kades.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun