Dengan dua contoh itu, saya hendak memastikan pemakaian pronomina "saya" itu sudah jamak dalam teks laporan riset sosial modern.
Semakin ke sini, teks laporan riset sosial sebenarnya semakin literer. Menggunakan diksi dan gaya bahasa sastra prosa.
Contoh terbaik untuk itu adalah laporan riset Oscar Lewis tentang sub-budaya kemiskinan. Laporannya telah diterbitkan dalam edisi Indonesia, Kisah Lima Keluarga, Telaah-telaah Kasus Orang Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan (Jakarta: YOI, 2001).
Membaca laporan Lewis itu, kita seperti membaca lima novelet tentang kehidupan sehari-hari keluarga miskin di Mesiko. Tapi memang tak ada cara lain yang lebih baik untuk memberi pemahaman  tentang sub-kultur kemiskinan, kecuali cara itu.
Dengan itu saya hendak menegaskan, jangan pernah ragu menggunakan pronomina persona "saya" dalam teks skripsi -- atau juga tesis dan disertasi. Tentu sejauh riset skripsi itu bersandar pada paradigma non-positivisme, semisal konstruktivisme.
Tapi memang harus saya akui juga, itu tak mudah.
Pelaku riset berparadigma non-positivistik di Indonesia masih minoritas yang terkooptasi oleh tradisi positivisme. Mereka cenderung menggunakan bahasa formal positivistik dalam laporannya.
Begitulah realitas. Tak mudah menjadi minoritas yang konsisten di negeri ini. Sekalipun itu minoritas kreatif. (eFTe) Â
 Â
Â
Â