Prinsipnya peneliti hanya boleh mengungkap "apa adanya obyek riset" -- artinya obyektif. Tak boleh bicara "apa yang saya pikirkan tentang obyek riset" -- artinya subyektif.
Sederhananya, realitas itu obyektif di luar diri peneliti, atau steril dari pengaruh subyektif peneliti.
Prinsip itu harus terbaca dalam teks laporan penelitian. Untuk menegaskan obyektivitas, maka dilarang menggunakan pronomina "saya". Karena pronomina ini dinilai mencerminkan subyektivitas.Â
Untuk mencegah penggunaan pronomina "saya", maka laporan riset sains natural mebggunakan kalimat-kalimat pasif. Semisal "Air dipanaskan hingga suhu 90° C." Bukan, "Saya menjerang air sampai panas."
Kalaupun harus menggunakan kalimat aktif, maka pakailah pronomina "peneliti". Sehingga kalimat tadi menjadi " Peneliti memanaskan air hingga suhu 90° C."
Kalimat seperti itu dinilai sebagai kalimat yang mencerminkan obyektivitas. Karena status "peneliti" dinilai sebagai status yang menjamin obyektivitas-- terikat pada kaidah obyektivitas riset. Â Terpisahkan dari "saya" yang subyektif.
Nah, tradisi itulah yang kemudian diikuti sains sosial.
Maka, untuk waktu yang lama, pengampu sains sosial telah mereplikasi paradigma positivisme empirik dalam riset sosial. Sebab jika tak demikian, maka para pengampu sains natural -- yang waktu itu superior -- tak akan mengakui obyektivitas hasil riset sosial.
Jadi, Â pada mulanya, ini adalah soal inferioritas sains sosial.
Tapi dalam perkembangannya kemudian sains sosial keluar dari bayang-bayang superioritas sains natural.
Lalu sains sosial menegakkan paradigma riset non-positivis. Tampillah paradigma konstruktivisme dan, kemudian, teori kritis, sebagai paradigma baru riset sosial.