"Jangan pakai pronomina persona 'saya' dalam karya skripsi. Itu bahasa informal, subyektif. Bahasa skripsi itu formal, obyektif. Pakai pronomina persona 'peneliti'."
Begitu ajaran dosen mata kuliah "Metode Penelitian Sosial" di kelasku dulu di awal 1980-an.Â
Saya ingat betul ajaran itu. Â Sampai hari ini.
Sebuah ingatan yang berdasarkan ketaksepakatan. Soalnya waktu itu saya sudah membaca The Social History of an Indonesian Town (Masachussets: The MIT, 1965), laporan riset antropologis Clifford Geertz di Pare, Kediri. Gertz secara konsisten menggunakan pronomina persona "saya" dalam teks laporan itu. Â
Pikirku, kalau seorang peneliti kelas dunia macam Geertz saja ternyata memakai pronomina "saya" dalam laporan riset, lalu mengapa saya harus patuh pada ajaran seorang dosen lokal yang laporan risetnya cuma satu yakni skripsi?
Saya tidak sedang merendahkan dosenku. Tapi sedang mempertanyakan kompetensinya.Â
Tapi begitulah rupanya gaya selingkung (inhouse style) yang berlaku di Perguruan Tinggi tempatku kuliah waktu itu.
Jadi?
Ya, begitulah. Saya tak boleh mendebat. Karena tak punya cukup pengetahuan untuk adu argumen. Sebab membanding dosenku dengan Geertz jelas bukan argumen logis, melainkan sesat pikir ad hominem. Â
Lagi pula, melawan institusi pendidikan waktu itu adalah perbuatan sia-sia.
Maka, tak bisa lain, skripsiku tentang penyuluhan pertanian di daerah transmigrasi Tulangbawang Lampung patuh manis memakai pronomina persona "peneliti". Steril dari pronomina "saya".
Tapi apakah memang terlarang memakai pronomina persona "saya" dalam teks skripsi? Atau sebenarnya hal seperti itu boleh-boleh saja?
Saya akan coba jelaskan, ya.
***
Kembali ke persoalan awal.
Kenapa sih ada dosen melarang pemakaian pronomina "saya" dalam teks riset, tapi menganjurkan pronomina "peneliti"?
Penjelasannya melekat pada sejarah perkembangan sains. Pertama eksis adalah sains natural, baru kemudian lahir sains sosial.
Sejarahnya panjang. Saya tak hendak membabarnya. Ini bukan  kuliah Filsafat Ilmu atau Metode Penelitian Sosial, kan?
Garis besarnya begini.
Tradisi riset sains natural -- seperti fisika, kimia, bilologi --bersandar pada paradigma positivisme empirik. Ada jarak tegas antara subyek peneliti dan obyek tineliti.
Jarak itu dimaksudkan untuk menjaga obyektivitas riset, tak terkontaminasi oleh subyektivitas periset.
Prinsipnya peneliti hanya boleh mengungkap "apa adanya obyek riset" -- artinya obyektif. Tak boleh bicara "apa yang saya pikirkan tentang obyek riset" -- artinya subyektif.
Sederhananya, realitas itu obyektif di luar diri peneliti, atau steril dari pengaruh subyektif peneliti.
Prinsip itu harus terbaca dalam teks laporan penelitian. Untuk menegaskan obyektivitas, maka dilarang menggunakan pronomina "saya". Karena pronomina ini dinilai mencerminkan subyektivitas.Â
Untuk mencegah penggunaan pronomina "saya", maka laporan riset sains natural mebggunakan kalimat-kalimat pasif. Semisal "Air dipanaskan hingga suhu 90° C." Bukan, "Saya menjerang air sampai panas."
Kalaupun harus menggunakan kalimat aktif, maka pakailah pronomina "peneliti". Sehingga kalimat tadi menjadi " Peneliti memanaskan air hingga suhu 90° C."
Kalimat seperti itu dinilai sebagai kalimat yang mencerminkan obyektivitas. Karena status "peneliti" dinilai sebagai status yang menjamin obyektivitas-- terikat pada kaidah obyektivitas riset. Â Terpisahkan dari "saya" yang subyektif.
Nah, tradisi itulah yang kemudian diikuti sains sosial.
Maka, untuk waktu yang lama, pengampu sains sosial telah mereplikasi paradigma positivisme empirik dalam riset sosial. Sebab jika tak demikian, maka para pengampu sains natural -- yang waktu itu superior -- tak akan mengakui obyektivitas hasil riset sosial.
Jadi, Â pada mulanya, ini adalah soal inferioritas sains sosial.
Tapi dalam perkembangannya kemudian sains sosial keluar dari bayang-bayang superioritas sains natural.
Lalu sains sosial menegakkan paradigma riset non-positivis. Tampillah paradigma konstruktivisme dan, kemudian, teori kritis, sebagai paradigma baru riset sosial.
Sekali lagi, saya tak akan membabar apa itu konstruktivisme dan teori kritis. Njlimet bikin puyeng itu.
Intinya, menurut dua paradigma riset itu realitas sosial adalah hasil bentukan sosial. Entah itu hasil bentukan bersama, inter-subyektivitas  (paradigma konstruktivisme), atau bentukan sepihak subyek yang berkuasa (teori kritis).
Karena itu, mustahil ada realitas sosial obyektif sebagaimana dipikirkan oleh kaum positivis empirik dari sains natural.
Penelitian sosial adalah proses inter-subyektivitas, interaksi komunikatif antara subyek peneliti dan subyek tineliti.
Karena itu mustahil untuk mensterilkan riset sosial dari faktor subyektivitas. Kata Max Weber, untuk menjadi obyektif, kita harus menafsir subyektivitas tineliti. Implikasinya, karena sifatnya tafsir, faktor subyektivitas kita sebagai periset ikut berperan juga.
Bingung? Intinya begini.Â
Riset sosial dengan paradigma konstruktivisme -- khususnya riset-riset kualitatif partisipatif sosiologi, antropologi, dan etnologi -- Â mengasumsikan realitas sosial (yang diklaim) obyektif itu tak eksis di luar sana.Â
Realitas sosial obyektif, dengan demikian, adalah hasil inter-subyektivitas, atau resultan dari interaksi komunikatif antara subyek peneliti dan subyek tineliti.
Biar terang, saya beri contoh.
Di desa Kandangan, Bawen Kabupaten Semarang, Jawa Tengah pada tahun 1990 saya berbincang dengan seorang lelaki buruh tani. Dia bercerita harus meninggalkan kerja buruh bangunan di Semarang untuk ikut panen padi di sawah Pak Bekel (Kepala Dusun). Padahal upah buruh bangunan lebih besar dibanding upah panen padi.Â
Menurut pandangan obyektifku, pilihan buruh tani itu bekerja panen di sawah Pak Bekel tak rasional secara ekonomi. Â Tapi menurutnya, dia harus mengambil pekerjaan itu. Jika tidak, dia akan kehilangan pekerjaan-pekerjaan lain sepanjang tahun dari Pak Bekel. Karena dianggap tak setia.
Jadi begitulah realitas obyektifnya. Buruh tani itu meninggalkan pekerjaan berupah besar yang bersifat insidentil. Lalu mengambil pekerjaan panen berupah kecil, demi mempertahankan pekerjaan-pekerjaan lain sepanjang tahun dari Pak Bekel.Â
Saya kemudian menyimpulkan gejala itu sebagai strategi survival dalam konteks relasi sosial panutan (Pak Bekel) dan pengikut (buruh tani).Â
Itulah realitas obyektif yang ditemukan berkat inter-subyektivitas, komunikasi saya selaku subyek peneliti dan buruh tani sebagai subyek tineliti.
Karena inter-subyektivitas di situ merupakan praksis metode riset kualitatif partisipatif, maka penggunaan pronomina "saya" (subyek peneliti) dan "dia" (buruhtani subyek tineliti) menjadi hal yang lumrah -- sudah selaiknya begitu.
Itu menjelaskan mengapa dalam laporan riset sosial kualitatif pemakaian pronomina "saya" -- juga "dia" dan "mereka" -- menjadi kewajaran, kalau bukan keniscayaan.
Mudah-mudahan menjadi jelas, ya.
***
Sebelum menutup  diskusi ini, saya ingin kutipkan dua kalimat yang memakai pronomina "saya" dari teks laporan riset sosial.
Sebagai contoh saja. Sekaligus bukti bahwa saya tidak sedang menebar ajaran sesat.
Ini yang pertama. Kalimat pertama dalam bab pertama buku Mojokuto, Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa (Jakarta: Grafiti Press, 1986), edisi Bahasa Indonesia laporan riset antropologis Geertz tersebut di atas. Bunyinya begini:
"Buku ini berusaha menelusuri sejarah sosial suatu kota di Jawa ... ketika saya tinggal di sana untuk beberapa lama." (p. 1)
Lalu yang kedua. Satu kalimat dari buku Seperti Roda Berputar, Perubahan Sosial Sebuah Kampung di Jakarta (Jakarta: LP3ES, 1994), laporan riset antropologis Lea Jellinek, berbunyi:
"Pendekatan saya adalah mencoba memahami dinamika lingkungan perkotaan yang kecil dan individu-individu yang tinggal di dalamnya." (p. 10)
Dengan dua contoh itu, saya hendak memastikan pemakaian pronomina "saya" itu sudah jamak dalam teks laporan riset sosial modern.
Semakin ke sini, teks laporan riset sosial sebenarnya semakin literer. Menggunakan diksi dan gaya bahasa sastra prosa.
Contoh terbaik untuk itu adalah laporan riset Oscar Lewis tentang sub-budaya kemiskinan. Laporannya telah diterbitkan dalam edisi Indonesia, Kisah Lima Keluarga, Telaah-telaah Kasus Orang Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan (Jakarta: YOI, 2001).
Membaca laporan Lewis itu, kita seperti membaca lima novelet tentang kehidupan sehari-hari keluarga miskin di Mesiko. Tapi memang tak ada cara lain yang lebih baik untuk memberi pemahaman  tentang sub-kultur kemiskinan, kecuali cara itu.
Dengan itu saya hendak menegaskan, jangan pernah ragu menggunakan pronomina persona "saya" dalam teks skripsi -- atau juga tesis dan disertasi. Tentu sejauh riset skripsi itu bersandar pada paradigma non-positivisme, semisal konstruktivisme.
Tapi memang harus saya akui juga, itu tak mudah.
Pelaku riset berparadigma non-positivistik di Indonesia masih minoritas yang terkooptasi oleh tradisi positivisme. Mereka cenderung menggunakan bahasa formal positivistik dalam laporannya.
Begitulah realitas. Tak mudah menjadi minoritas yang konsisten di negeri ini. Sekalipun itu minoritas kreatif. (eFTe) Â
 Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H