Jadi begitulah realitas obyektifnya. Buruh tani itu meninggalkan pekerjaan berupah besar yang bersifat insidentil. Lalu mengambil pekerjaan panen berupah kecil, demi mempertahankan pekerjaan-pekerjaan lain sepanjang tahun dari Pak Bekel.Â
Saya kemudian menyimpulkan gejala itu sebagai strategi survival dalam konteks relasi sosial panutan (Pak Bekel) dan pengikut (buruh tani).Â
Itulah realitas obyektif yang ditemukan berkat inter-subyektivitas, komunikasi saya selaku subyek peneliti dan buruh tani sebagai subyek tineliti.
Karena inter-subyektivitas di situ merupakan praksis metode riset kualitatif partisipatif, maka penggunaan pronomina "saya" (subyek peneliti) dan "dia" (buruhtani subyek tineliti) menjadi hal yang lumrah -- sudah selaiknya begitu.
Itu menjelaskan mengapa dalam laporan riset sosial kualitatif pemakaian pronomina "saya" -- juga "dia" dan "mereka" -- menjadi kewajaran, kalau bukan keniscayaan.
Mudah-mudahan menjadi jelas, ya.
***
Sebelum menutup  diskusi ini, saya ingin kutipkan dua kalimat yang memakai pronomina "saya" dari teks laporan riset sosial.
Sebagai contoh saja. Sekaligus bukti bahwa saya tidak sedang menebar ajaran sesat.
Ini yang pertama. Kalimat pertama dalam bab pertama buku Mojokuto, Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa (Jakarta: Grafiti Press, 1986), edisi Bahasa Indonesia laporan riset antropologis Geertz tersebut di atas. Bunyinya begini:
"Buku ini berusaha menelusuri sejarah sosial suatu kota di Jawa ... ketika saya tinggal di sana untuk beberapa lama." (p. 1)
Lalu yang kedua. Satu kalimat dari buku Seperti Roda Berputar, Perubahan Sosial Sebuah Kampung di Jakarta (Jakarta: LP3ES, 1994), laporan riset antropologis Lea Jellinek, berbunyi:
"Pendekatan saya adalah mencoba memahami dinamika lingkungan perkotaan yang kecil dan individu-individu yang tinggal di dalamnya." (p. 10)