Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Yohanes, Anies Baswedan dan Lelucon Papua

30 Desember 2022   07:56 Diperbarui: 30 Desember 2022   09:56 2948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyematan nama Yohanes pada Anies Baswedan di Supiori Papua (Foto: Twitter/@KatolikG via populis.id)

Lagi viral  penyematan nama Kristiani, Yohanes, untuk Anies Baswedan, seorang tokoh Muslim yang didapuk Partai Nasdem menjadi Capres 2024.

Penyematan nama itu dilakukan seorang tokoh komunitas Kristen "Alfa Omega" saat Anies berkunjung ke Kabupaten Supiori, Papua.

Narasi penyematannya lebih sebagai ucapan sambutan selamat datang. Sambil mengalungkan tas anyaman kosong, tokoh komunitas itu berkata:

"Anak kami Anies datang di Rumah Tuhan dengan nama Yohanes."

Penyematan nama itu dilakukan oleh satu komunitas religi kepada seorang politisi. Menjadi pertanyaan, apakah peristiwa itu punya makna sosio-religi dan sosio-politik yang signifikan?

Saya akan coba jelaskan.  Tapi sebelum itu saya mau jelaskan sedikit tentang nama Yohanes.

***

Ada dua Yohanes dalam sejarah Gereja Kristiani. Keduanya tokoh dalam sejarah kelahiran Perjanjian Baru atau Injil Kristus.

Pertama, Yohanes Pembaptis -- kadang disebut juga Yohanes Pemandi.  Yohanes Pemandi adalah anak lelaki pasutri Imam Zakharia dan Elisabeth. Lahir lebih dulu 6 bulan sebelum Yesus.

Dalam ajaran Gereja Kristiani, Yohanes Pembaptis adalah nabi terakhir. Dia lahir dan berkarya mempersiapkan umat Israel menyambut kedatangan Yesus Kristus.

Yohanes membaptis orang-orang Israel di Sungai Yordan, sebagai tanda pertobatan dan kesiapan menyambut kedatangan Juru Selamat, Yesus Kristus. 

Dikisahkan Yesus mendatangi Yohsnes di Sungai Yordan dan meminta agar diri-Nya dibaptis juga. Waktu itu Yesus genap berusia 30 tahun. Pembabtisan itu menandai awal karya penebusan Yesus Kristus untuk tiga tahun ke depan. Hingga Dia wafat di kayu salib.

Kedua, Yohanes Penginjil -- kadang disebut Yohanes Evangelis. Yohanes Penginjil, anak pasutei Zebedeus dan Salome, adalah murid termuda dari 12 murid Yesus. 

Yohanes dikenal sebagai murid yanf paling dikasihi Yesus. Juga paling dekat relasinya dengab Maria Ibu Yesus. Dari atas kayu salib, Yesus menitipkan Maria sebagai "Ibu" untuk Yohanes. Sejak itu Bunda Maria tinggal di rumah Yohanes yang dititipkan Yesus sebagai "anak" untuk Maria.

Yohanes Penginjil adalah penulis dua kitab dalam Perjanjian Baru. Kitab Injil Yohanes yang berstruktur topikal dan Kitab Wahyu yang bersifat apokaliptik. Karena kehebatan dan kedalaman  Injil Yoganes dan Kitab Wahyu, Yohanes dilambangkan dengan burung rajawali.

Dari dua Yohanes itu, keduanya santo dalam tradisi Katolik, nama yang manakah disematkan kepada Anies Baswedan?

Tidak ada yang tahu. Bahkan pemberi nama itu juga mungkin tak memikirkannya. Jangan kata Anies Baswedan sendiri.

Atau jangan-jangan dikira Anies itu nama panggilan untuk Yohanes atau Yohanis?

***

Sekarang bisa diperiksa apakah penyematan nama Yohanes pada Anies itu punya makna sosio-religi yang signifikan.

Bagi umat Kristiani, makna penyematan nama orang kudus atau tokoh protagonis Kitab Suci dinyatakan pada saat pembaptisan. 

Maknanya adalah sebuah doa pengharapan, agar penyandang nama dijiwai, terinspirasi, dan dilindungi oleh orang kudus pemilik nama itu sepanjang hidupnya. 

Dengan menyandang nama (Santo) Felix, misalnya, seseorang diharapkan akan selaly mendapat keberuntungan dan kebahagiaan dalam hidupnya.

Makna sosio-religi nama Kristiani semacam itu hanya sah melalui peristiwa pembaptisan yang dilakukan oleh pastor (Katolik) atau pendeta (Protestan). 

Dalam peristiwa baptisan itu, pastor atau pendeta memberi peneguhan: "... (menyebut nama calon baptis), saya membaptis engkau dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus." 

Sejak itu penerima baptisan menjadi bersih dari dosa dan menjalani hidup baru sebagai anak Allah. Artinya dia wajib ambil bagian dalam imamat (pengorbanan diei), kenabian (pewartaan) dan rajawi (penggembalaan) Kristus. Dengan begitulah hidupnya diselamatkan dan boleh masuk surga-Nya.

Itulah makna sosio-religi baptisan bagi umat Kristiani.

Pertanyaannya, apakah penyematan nama Yohanes pada Anies Baswedan sebuah peristiwa baptisan Kristiani?

Jawabnya: "Bukan!"

Ada dua alasan untuk mengatakan begitu. 

Pertama, penyematan nama Yohanes itu tidak dilakukan seorang pastor atau pendeta melalui upacara Sakramen Pembaptisan. 

Penyematan nama itu hanya dilakukan sebagai ucapan selamat datang oleh seorang tokoh komunitas Kristiani lokal. Itu bukan pembaptisan.

Kedua, nama Yohanes yang disematkan pada Anies bukan nama baptis. Sebab dalam tradisi Protestan -- dan komunitas Alfa Omega itu Protestan -- tidak ada nama baptis. 

Nama baptis itu tradisi Katolik. Nama baptis Katolik lazim diambil dari nama-nama santo/santa dan beato/beata yang hidup dalam era Yesus Kristus dan setelahnya.

Dengan demikian bisa disimpulkan penyematan nama Yohanes itu tak punya makna sosio-religi apapun bagi Anies Baswedan. Walau Anies tersenyum saat menerima nama itu, hampir pasti dia tak perduli makna sisio-religinya.

Makna penyematan nama itu tak lebih dari pernyataan penerimaan komunitas Kristiani setempat untuk Anies masuk rumah doa secara jasmani. Itu saja, tak lebih tak kurang.

***

Kalau takada makna sosio-religinya, mungkinkah ada makna sosio-politiknya?

Ada indikasi ke arah sana.

Ingatlah, mayoritas penduduk Papua adalah umat Kristiani. Protestan 70 persen dari total penduduk dan Katolik 16 persen.

Sebagai Capres 2024 dari Partai Nasdem, Anies harus memasarkan diri di Papua. Untuk itu dia membutuhkan modal politik beraroma religi, agar bisa memikat hati mayoritas Kristiani Papua.

Aksi masuk gereja jelas tak memadai. Semua orang bisa melakukannya. Nilai politisnya rendah, murahan.

Harus ada terobosan yang unik, berani, dan spektakuler sehingga viral. 

Maka muncullah gagasan penyematan nama Yohanes oleh satu komunitas kecil Kristiani (Protestan) itu.  Itu gagasan terencana, punya tendensi dan intensi politik. Bukan sesuatu yang bersifat bebas nilai, spontan tanpa pikir. Terlalu naif jika berpikir begitu.

Anies hanya sudi menerima penyematan nama Yohanes itu bila dinilainya menguntungkan secara politis.

Ucapan "Anak kami Anies datang di Rumah Tuhan dengan nama Yohanes" dari tokoh komunitas Alfa Omega itu bukan pernyataan religi, melainkan pernyataan politis.

Tegasnya, itu pernyataan politis yang mengkapitalisasi etnis (Papua) dan agama (Kristen Protestan). Dengan pernyataan itu, Anies diterima menjadi "anak Papua" di tengah "umat Kristiani Papua".

Setidaknya, begitulah tendensi dan intensi atau makna politis penyematan nama Yohanes pada Anies Baswedan itu.

Lantas, apakah intensi atau makna politis itu tercapai secara signifikan? Ah, nanti dulu.

***

Menjadi viral adalah sensasional bukan esensial. Viralitas hanya akan mengantar seseorang pada popularitas dangkal, bukan pada pengakyan dan penerimaan substansial.

Begitulah peristiwa penyematan nama Yohanes pada Anies itu menjadi viral karena diamplifikasi para pendukung dan penghadang. Tapi itu hanya viralitas dangkal yang tak akan memberi keuntungan politis signifikan untuk Anies Baswedan atau bahkan menjadi kontra-produktif.

Sekurangnya ada empat alasan untuk menyimpulkan seperti itu.

Pertama, penyematan nama Yohanes itu hanya "basa-basi keramahan lokal" yang dilakukan oleh satu komunitas Kristiani kecil setempat, dengan spektrum pengaruh terlalu sempit.  Bukan dilakukan oleh, misalnya, salah satu denominadi Gereja Protestan yang punta spektrum pengaruh se-Papua.

Kedua, penyematan nama Yohanes yang tak ditampik oleh Anies itu mempertegas karakter Anies sebagai politisi pengkapitalisasi agama sebagai modal politik. Perilaku politik macam itu, selain tak cerdas dan tak etis, sudah terbukti menimbulkan luka mendalam dalam relasi inter dan antar umat beragama sejak Pilgub DKI 2017 dan Pilpres 2019. 

Itu memori perih yang bikin umat beragama di Indonesia jeri dan jera terhadap politisi/partai pengkapitalisasi agama.

Ketiga, penyematan nama Yohanes pada Anies itu berpotensi ditafsir umat Kristiani sebagai tindakan merendahkan dan mempermainkan dua sosok sangat penting dalam sejarah agama Kristiani. Mereka adalah Yohanes Pembaptis yang melapangkan jalan bagi kedatangan Kristus dan Yohanes Penginjil "Sang Rajawali" pengabar misteri Yesus Kristus.

Hal itu justru akan memicu antipati terhadap sosok politis Anies Baswedan di kalangan umat Kristiani Indonesia umumnya Papua khususnya.  

Pada akhirnya, tak berlebihan bila dikatakan, penyematan nama Yohanes pada Anies Baswedan itu cuma semacam lelucon politik dari Papua. Sebuah lelucon tak cerdas dan tak lucu yang diproduksi sekelompok kecil orang demi kepentingan politik Pilpres 2024.

Lelucon tak cerdas itu kemudian juga direspon sejumlah pihak dengan lelucon yang sama tak cerdasnya. 

Seperti ujaran-ujaran lelucon semacam ini. "Nis, gimana rasanya jadi minoritas." "Indonesia akan punya presiden Kristen tahun 2024." "Punya nama baptis Yohanes tapi takut mengucapkan Selamat Natal."

Rasanya ngilu hati mendengar lelucon-lelucon tak cerdas semacam itu. Semakin ngilu bila diingat tentang Yohanes Pembaptis yang wafat dengan kepala terpenggal atas perintah Herodes. Juga ingat tentang Yohanes Penginjil yang rela menderita demi mewartakan Injil Kristus.

Ah, tak bisakah kita melepaskan diri dari kegandrungan kapitalisasi agama yang sakral untuk kepentingan politik yang profan?

Tak adakah "Jalan Lain" menuju Pilpres 2024? (eFTe)

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun