Maka muncullah gagasan penyematan nama Yohanes oleh satu komunitas kecil Kristiani (Protestan) itu. Â Itu gagasan terencana, punya tendensi dan intensi politik. Bukan sesuatu yang bersifat bebas nilai, spontan tanpa pikir. Terlalu naif jika berpikir begitu.
Anies hanya sudi menerima penyematan nama Yohanes itu bila dinilainya menguntungkan secara politis.
Ucapan "Anak kami Anies datang di Rumah Tuhan dengan nama Yohanes" dari tokoh komunitas Alfa Omega itu bukan pernyataan religi, melainkan pernyataan politis.
Tegasnya, itu pernyataan politis yang mengkapitalisasi etnis (Papua) dan agama (Kristen Protestan). Dengan pernyataan itu, Anies diterima menjadi "anak Papua" di tengah "umat Kristiani Papua".
Setidaknya, begitulah tendensi dan intensi atau makna politis penyematan nama Yohanes pada Anies Baswedan itu.
Lantas, apakah intensi atau makna politis itu tercapai secara signifikan? Ah, nanti dulu.
***
Menjadi viral adalah sensasional bukan esensial. Viralitas hanya akan mengantar seseorang pada popularitas dangkal, bukan pada pengakyan dan penerimaan substansial.
Begitulah peristiwa penyematan nama Yohanes pada Anies itu menjadi viral karena diamplifikasi para pendukung dan penghadang. Tapi itu hanya viralitas dangkal yang tak akan memberi keuntungan politis signifikan untuk Anies Baswedan atau bahkan menjadi kontra-produktif.
Sekurangnya ada empat alasan untuk menyimpulkan seperti itu.
Pertama, penyematan nama Yohanes itu hanya "basa-basi keramahan lokal" yang dilakukan oleh satu komunitas Kristiani kecil setempat, dengan spektrum pengaruh terlalu sempit. Â Bukan dilakukan oleh, misalnya, salah satu denominadi Gereja Protestan yang punta spektrum pengaruh se-Papua.