"Bah, masih lama giliranmu, Poltak," keluh Alogo.
"Baguslah itu, Alogo. Aku jadi bisa belajar dari tujuh peserta," kata Poltak sambil tertawa.
"Bah, betul juga kau, Poltak," puji Guru Arsenius. Dia takjub Poltak punya pikiran seperti itu.
"Peserta nomor delapan. Poltak Parulian dari Sekolah Dasar Negeri Hutabolon!" Terdengar pengumuman dari panitia.
Poltak melangkah tegap ke lantai pagoda. Diiring tepuk tangan dan tempik-sorak murid-murid dan guru-guru SD Hutabolon.
Di Pagoda, sosok Poltak tampak gagah dengan sortali, destar ulos di kepala, dan ulos ragidup tersampir di bahu kanan.
Dia berdiri tegak menghadap selatan. Mengadap dewan juri, Danau Toba, dan Bakkara sebagai kiblat.Â
"Apa judul puisimu, Nak?" tanya Frater Ambrosius sebagai formalitas.
 "Sisingamangaraja Keduabelas," jawab Poltak tegas.
"Baiklah. Silahkan baca puisimu, Nak."
"Nauli."