"Bah, rahasialah itu. Nanti tujuhbelas Agustus kalian tontonlah aku membacanya di lapangan Pagoda Parapat." Jawaban yang membuat seisi kelas jadi penasaran.
Jumat 17 Agustus 1973. Â Perayaan Hari Ulang Tahun Ke-28 Kemerdekaan Indonesia di Lapangan Pagoda, Parapat.
Pola kegiatan berulang. Dimulai dengan upacara peringatan detik-detik proklamasi. Dilanjutkan dengan kegiatan lomba-lomba Agustusan. Diakhiri dengan pengumuman pemenang dan pembagian hadiah dan piagam.
SDN Hutabolon belum terkalahan pada lomba lari 100 meter putra. Binsar belum punya saingan.
Pada lomba lari 100 meter putri ada kemajuan. Tiur berhasil menyabet juara dua. Tahun lalu juara tiga.
Turun prestasi terjadi pada lomba tarik-tambang. Hanya mampu merebut posisi juara dua. Poltak sudah menduganya. Tanpa kehadiran Polmer, yang sudah berpulang, tim tarik tambang SD Hutabolon tak sekuat tahun lalu.Â
Tapi ada yang baru tahun 1973 ini. Lomba menulis dan membaca puisi perjuangan kemerdekaan.Â
Dilaksanakan di Pagoda, lomba ini menyedot perhatian murid-murid dan guru-guru SD sekecamatan Parapat.Â
Ada delapan orang peserta. Masing-masing mewakili SD Hutabolon, SD Hutagurgur, SD Sigirsang, SD Siganding  SD Paropatsuhi, SD Tarabunga, SD Pardomuan, dan SD Pardolok. Setiap peserta wajib membacakan puisi karangan sendiri di hadapan dewan juri.
Dewan juri terdiri dari tiga orang. Ketuanya Frater Ambrosius, penyair dari Seminari Tinggi Parapat. Anggotanya Pak Rapolo, Penilik Sekolah Kecamatan Parapat dan Pak Nahum, seorang guru Bahasa Indonesia di SMP Parapat.
Urutan tampil peserta ditetapkan melalui undian. Poltak, wakil SD Hutabolon, mendapat nomor terakhir.