"Dia pintar marumpasa, Gurunami. Pasti bisa bikin puisi juga." Â Binsar memberi alasan.Â
Belajar dari para kakeknya, Poltak memang pintar marumpasa, berpepatah-petitih Batak.
"Bah, begitu, ya." Â Guru Arsenius menatap Poltak. Â "Poltak! Bagaimana? Kau siap?"
"Baris-baris ni gaja di rura Pangaloan. Molo marsuru raja dae do so oloan," jawab Poltak dengan umpasa -- Beriring gajah di lembah Pangaloan. Perintah raja pantang dibantah.
"Ima tutu!" Serentak seluruh murid dan Guru Arsenius mengamini.
"Poltak! Sekolah mempercayakan tugas ini pada kau. Â Waktumu dua minggu. Tanggal empatbelas harus selesai. Â Kau bikinlah yang bagus, ya. Â Ingat, puisi perjuangan kemerdekaan."
"Nauli, Gurunami."
Poltak tiada pahamlah soal puisi. Tapi tugas sudah diterima. Harus dijalankan. Atau SD Negeri Hutabolon akan menanggung malu.
Di rumah. Sepulang sekolah. Jidat Poltak berkerut. Tanda berpikir keras cari ide.
"Poltak! Kau pasti bisa." Teringat dia ujaran Berta yang melangkah di sisinya saat keluar dari halaman sekolah.Â
"Doakan aku bisa, pariban na uli basa." Begitu jawaban Poltak yang diganjar Berta, pariban yang baik budi itu, Â dengan cubitan di pinggang. Sebuah cubitan penyegar otak.