Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #100] Penyair Dadakan dari Panatapan

21 Desember 2022   20:39 Diperbarui: 21 Desember 2022   21:39 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kolase foto oleh FT (Foto: kompas.com/Dok. Istimewa)

Musim panen padi sudah berlalu di Panatapan.  Hamparan sawah telah berubah warna.  Dari permadani kuning menjadi hamparan berundak kecoklatan.

Agustus telah tiba lagi.  Membawa serta tanggal keramat.   Tujuhbelas Agustus, hari proklamasi kemerdekaan Indonesia,  zamrud khatulistiwa.

"Agustusan tahun ini ada lomba baru.  Lomba mengarang dan membaca puisi.  Temanya perjuangan kemerdekaan." 

Guru Arsenius menyampaikan pengumuman di depan kelas.  

"Kepala sekolah minta murid kelas enam yang mewakili sekolah kita."

Murid-murid kelas enam menyimak, menunggu penjelasan lebih lanjut.  Setiap anak berharap tak ditunjuk mewakili sekolah.

"Siapa dari kalian yang pantas mewakili sekolah kita?" Keluar juga pertanyaan maut itu.

"Poltak, Gurunami!"  Kompak, serentak murid-murid kelas enam berteriak menjawab.

Poltak tersentak macam tersengat tawon vespa.

"Poltak? Kenapa Poltak?" tanya Guru Arsenius.

"Dia pintar marumpasa, Gurunami. Pasti bisa bikin puisi juga."  Binsar memberi alasan. 

Belajar dari para kakeknya, Poltak memang pintar marumpasa, berpepatah-petitih Batak.

"Bah, begitu, ya."  Guru Arsenius menatap Poltak.  "Poltak! Bagaimana? Kau siap?"

"Baris-baris ni gaja di rura Pangaloan. Molo marsuru raja dae do so oloan," jawab Poltak dengan umpasa  -- Beriring gajah di lembah Pangaloan. Perintah raja pantang dibantah.

"Ima tutu!" Serentak seluruh murid dan Guru Arsenius mengamini.

"Poltak! Sekolah mempercayakan tugas ini pada kau.  Waktumu dua minggu. Tanggal empatbelas harus selesai.  Kau bikinlah yang bagus, ya.  Ingat, puisi perjuangan kemerdekaan."

"Nauli, Gurunami."

Poltak tiada pahamlah soal puisi. Tapi tugas sudah diterima. Harus dijalankan. Atau SD Negeri Hutabolon akan menanggung malu.

Di rumah. Sepulang sekolah. Jidat Poltak berkerut. Tanda berpikir keras cari ide.

"Poltak! Kau pasti bisa." Teringat dia ujaran Berta yang melangkah di sisinya saat keluar dari halaman sekolah. 

"Doakan aku bisa, pariban na uli basa." Begitu jawaban Poltak yang diganjar Berta, pariban yang baik budi itu,  dengan cubitan di pinggang. Sebuah cubitan penyegar otak.

Poltak  memeriksa tumpukan buku-buku Parandum, amangudanya. Dia ingat pernah melihat buku kumpulan puisi di situ. 

"Ini dia!" Poltak bersorak. 

Diperiksanya sampul buku itu. Judulnya Deru Campur Debu.  Pengarangnya Chairil Anwar. Diterbikan Yayasan Pembangunan tahun 1959.

"Dia penyair besar Indonesia," jawab Parandum ketika suatu kali Poltak bertanya siapa Chairil Anwar.

Ada 27 puisi dalam buku itu. Dulu Poltak pernah membaca sekilas. Dia tak paham maknanya. Tak terjangkau oleh daya pikirnya. Maka dia lupakan buku itu.

Tapi sekarang Poltak sangat membutuhkannya. Sebagai acuan untuk menulis puisi.

Dia kembali membaca ulang puisi-puisi Chairil Anwar itu. Tetap belum paham juga.  

"Poltak! Sudah sore! Jemput kerbau kita di Holbung!" Dari kebun di belakang rumah, neneknya berteriak mengingatkan.  

"Olo, Ompung!"

Sudah tiga hari Poltak membaca puisi-puisi Chairil Anwar. Tapi ide puisi belum muncul juga.

Hingga pada hari keempat, suatu sore di atas bukit Partalinsiran. Poltak tiba-tiba berteriak mengagetkan Binsar dan Bistok. 

"Aku ini binatang jalang. Dari kumpulannya terbuang. Biar peluru menembus kulitku. Aku tetap meradang menerjang. Luka dan bisa kubawa berlari, berlari. Hingga hilang pedih peri."

"Bah, puang. Hebat kali puisimu, Poltak!" Binsar terbekiak takjub.

"Bisa juara kau, Poltak," sambut Bistok. 

"Bukan. Itu bukan puisiku. Itu puisi Chairil Anwar. Penyair hebat Indonesia." 

Tiba-tiba saja penggalan puisi Aku karya Chairil Anwar itu merasuki pikiran Poltak.

"Semangat juang luar biasa. Pantang menyerah." Poltak membatin. 

"Ompu Sisingamangaraja!" teriak Poltak.

"Bah, apa maksudmu, Poltak?" tanya Binsar terheran-heran.

"Aku mau bikin puisi perjuangan Ompu Sisingamangaraja melawan penjajah Belanda," kata Poltak bersemangat.

Binsar mengangguk-angguk. Bistok juga. Keduanya mendukung ide Poltak.

"O ale Ompung Sisingamangaraja. Izinkanlah aku menulis puisi perjuanganmu."  

Poltak berteriak dari atas bukit sambil menengadah ke arah selatan, ke arah Bakkara. 

Maka mulailah hari-hari penggalian ilham dan penataan kata-kata.  Poltak mendadak jadi pendiam. Kerap menyendiri. Sorot matanya terkadang tajam menakutkan.

Sudah pasti Binsar dan Bistok yang menebar isu. Tersiarlah kabar Poltak kesurupan roh Sisingamangaraja. Mula-mula hanya di kelas enam SD Hutabolon. Kemudian meluas ke kelas-kelas di bawahnya.

Poltak mendadak menjadi anak yang dihormati sekaligus ditakuti di sekolah. Sebab siapapun yang kesurupan roh Sisingamangaraja, pastilah dia menjadi sakti.

"Tidak. Aku tak kesurupan roh siapapun," sanggah Poltak suatu kali di depan teman-teman sekelasnya. 

Tidak ada yang percaya. Tidak juga Berta. Dia malahan takjub dan bangga paribannya itu kesurupan roh Sisinganangaraja.

Poltak masa bodo. Terserahlah apa kata orang. Dia terlalu sibuk menggali inspirasi untuk puisinya. Tak ada waktu menanggapi kesintingan orang-orang sekitar.

Sumber inspirasi bagi Poltak adalah kisah dari seorang Ulu Punguan, tetua komunitas Parugamo Malim atau Parmalim di Binangalom. Orang yang bertemu dengannya saat acara adat marhata sinamot untuk perkawinan Hotman, abang si Bistok.

Sebuah pertemuan yang aneh sebenarnya.

"Boru Saniangnaga, penguasa danau, suka pada kau, Nak," kata Ulu Punguan itu menjelaskan penyebab Poltak terjebak di dasar air terjun Situmurun.

"Boru Saniangnaga? Siapa itu?" Poltak bingung.

"Boru Saniangnaga itu salah satu malim Ugamo Malim." Ulu Punguan menjelaskan hamalimon, kenabian Boru Saniangnaga dalam Ugamo Malim, agama asli orang Batak Toba.

 "Tapi malim terbesar adalah Ompu Sisingamangaraja Keduabelas," lanjut Ulu Punguan.

Lalu mengalirlah kisah perjuangan Sisingamangaraja XII dari Ulu Punguan itu. Poltak, Binsar, Bistok, dan Buntora, teman baru di Binangalom, menjadi pendengar yang takzim.

Dikisahkanlah perjuangan tak kenal menyerah dari Sisingamangaraja XII. Perlawanannya terhadap pasukan Belanda, penjajah Tanah Batak. 

"Ketika tentara Belanda menyerbu Bakkara dengan bedil, Sisingamangaraja tegak menghadang. Gagah berani.  Tak kenal kata gentar"

Ulu Punguan memulai kisah kepahlawan Sisingamangaraja XII.

Selanjutnya adalah kisah darah rakyat Bakkara yang ditumpahkan.  Belanda menduduki Tanah Batak. Tapi Sisingamangaraja menolak tunduk. Dia melakukan perang gerilya bersama putranya Patuan Anggi dan Patuan Nagari, serta putrinya Boru Lopian. Sampai akhirnya dia tewas ditembak marsose di Aek Sibulbulon, saat sedang memeluk jasad putrinya.

Sebuah akhir perlawanan yang sangat heroik, sekaligus mengharukan.

Di Holbung pada satu sore, saat mengamati kerbau-kerbau yang sedang merumput bersama Binsar dan Bistok, Poltak teringat akan kata-kata Ulu Punguan, saat mengawali kisah perjuangan Sisingamangaraja.

Poltak tiba-tiba berdiri, menatap jauh ke selatan, ke arah Bakkara, lalu menyeru.

"Ketika peluru bedil Belanda si penjajah. Menerjang Lembah Bakkara. Jantung Tano Batak. Kau tegak menghadang. Gagah melawan!"

Binsar dan Bistok terdongak. Kaget! Campur takjub!

"Puisi Chairil Anwar lag?" tanya Bistok.

"Bukan!" jawab Poltak tegas. Sambil menoleh pada kedua sahabatnya itu dengan sorot mata tajam menikam.

Binsar dan Bistok bergidik. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun