Poltak berteriak dari atas bukit sambil menengadah ke arah selatan, ke arah Bakkara.Â
Maka mulailah hari-hari penggalian ilham dan penataan kata-kata. Â Poltak mendadak jadi pendiam. Kerap menyendiri. Sorot matanya terkadang tajam menakutkan.
Sudah pasti Binsar dan Bistok yang menebar isu. Tersiarlah kabar Poltak kesurupan roh Sisingamangaraja. Mula-mula hanya di kelas enam SD Hutabolon. Kemudian meluas ke kelas-kelas di bawahnya.
Poltak mendadak menjadi anak yang dihormati sekaligus ditakuti di sekolah. Sebab siapapun yang kesurupan roh Sisingamangaraja, pastilah dia menjadi sakti.
"Tidak. Aku tak kesurupan roh siapapun," sanggah Poltak suatu kali di depan teman-teman sekelasnya.Â
Tidak ada yang percaya. Tidak juga Berta. Dia malahan takjub dan bangga paribannya itu kesurupan roh Sisinganangaraja.
Poltak masa bodo. Terserahlah apa kata orang. Dia terlalu sibuk menggali inspirasi untuk puisinya. Tak ada waktu menanggapi kesintingan orang-orang sekitar.
Sumber inspirasi bagi Poltak adalah kisah dari seorang Ulu Punguan, tetua komunitas Parugamo Malim atau Parmalim di Binangalom. Orang yang bertemu dengannya saat acara adat marhata sinamot untuk perkawinan Hotman, abang si Bistok.
Sebuah pertemuan yang aneh sebenarnya.
"Boru Saniangnaga, penguasa danau, suka pada kau, Nak," kata Ulu Punguan itu menjelaskan penyebab Poltak terjebak di dasar air terjun Situmurun.
"Boru Saniangnaga? Siapa itu?" Poltak bingung.