"Boru Saniangnaga itu salah satu malim Ugamo Malim." Ulu Punguan menjelaskan hamalimon, kenabian Boru Saniangnaga dalam Ugamo Malim, agama asli orang Batak Toba.
 "Tapi malim terbesar adalah Ompu Sisingamangaraja Keduabelas," lanjut Ulu Punguan.
Lalu mengalirlah kisah perjuangan Sisingamangaraja XII dari Ulu Punguan itu. Poltak, Binsar, Bistok, dan Buntora, teman baru di Binangalom, menjadi pendengar yang takzim.
Dikisahkanlah perjuangan tak kenal menyerah dari Sisingamangaraja XII. Perlawanannya terhadap pasukan Belanda, penjajah Tanah Batak.Â
"Ketika tentara Belanda menyerbu Bakkara dengan bedil, Sisingamangaraja tegak menghadang. Gagah berani. Â Tak kenal kata gentar"
Ulu Punguan memulai kisah kepahlawan Sisingamangaraja XII.
Selanjutnya adalah kisah darah rakyat Bakkara yang ditumpahkan. Â Belanda menduduki Tanah Batak. Tapi Sisingamangaraja menolak tunduk. Dia melakukan perang gerilya bersama putranya Patuan Anggi dan Patuan Nagari, serta putrinya Boru Lopian. Sampai akhirnya dia tewas ditembak marsose di Aek Sibulbulon, saat sedang memeluk jasad putrinya.
Sebuah akhir perlawanan yang sangat heroik, sekaligus mengharukan.
Di Holbung pada satu sore, saat mengamati kerbau-kerbau yang sedang merumput bersama Binsar dan Bistok, Poltak teringat akan kata-kata Ulu Punguan, saat mengawali kisah perjuangan Sisingamangaraja.
Poltak tiba-tiba berdiri, menatap jauh ke selatan, ke arah Bakkara, lalu menyeru.
"Ketika peluru bedil Belanda si penjajah. Menerjang Lembah Bakkara. Jantung Tano Batak. Kau tegak menghadang. Gagah melawan!"