Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Resepsionis Hotel di Toraja

21 September 2022   10:18 Diperbarui: 21 September 2022   17:47 1425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi resepsionis hotel (Foto: sugarandcream.co)

Mobil kami berhenti tepat di depan pintu lobi hotel. Kulirik arloji di pergelangan tangan kiriku. Jarum pendek menunjuk angka 10 persis. Pukul 22.00, malam.

Perjalanan kami dari Parepare ke Makale Tana Toraja terlalu santai. Berangkat tadi sore pukul 16.00. Enam jam di jalan. 

Ada selang waktu istirahat di Bambapuang, Anggareja Enrekang. Menikmati keindahan Buntu Kabobong. Disebut Gunung Nona. Satu bagian lerengnya membentuk citra vagina.

Aku, istriku, dan kedua anak gadis kami turun dari mobil. Daeng Kamri, supir tapi teman, menurunkan koper-koper. Sekalian mengangkatnya ke lobi.

Suasana di lobi sepi. Tak ada orang.  Kecuali resepsionis. Seorang lelaki tua dalam balutan kemeja katun tenunan Toraja. Kutaksir umurnya sekitar 70 tahun.

"Aneh. Ini Desember. Menjelang Natal. Kenapa sepi?" Aku sempat membatin.

Aku merapat ke meja resepsionis.

"Malam, Pak. Mohon bisa chek in. Pesanan kamar atas nama Poltak." 

Seorang rekan di Parepare sudah memesankan kamar di hotel itu dua hari yang lalu.

Lelaki tua itu tak menjawab. Dia mengambil sebuah buku tulis ukuran folio. Membukanya. Memeriksa daftar dengan ujung telunjuk.

Sejenak kemudian. Lelaki tua itu menyodorkan dua kunci kamar. Nomor 211 dan 212. Berarti di lantai dua.

"Terimakasih, Pak."

Lelaki tua itu tak menjawab. Hanya tersenyum simpul. Pelit kata, hemat senyum.

Sempat aku melirik foto ukuran besar yang tergantung di dinding belakang resepsionis itu. Foto pasangan suami-istri lansia.

"Ah, pemilik hotel merangkap resepsionis," bisikku dalam hati. Lelaki tua dalam foto itu kini sedang berdiri di belakang meja resepsionis.

Aneh, tak ada seorangpun room boy di malam itu. Jadi koper-koper dan tas-tas kami angkat sendiri naik tangga ke lantai dua.

Hotel itu bangunan tua. Tercirikan dari kunci pintu kamar. Bukan kartu elektronik. Tapi anak kunci besi.

"Kita berempat tidur sekamar saja malam ini," usul istriku. Kutatap wajahnya. Sebab itu bukan kebiasaan kami.

Sedikit rona tak nyaman tampak di air muka istriku. Isyarat jangan membantahnya.

Jadilah kami berempat tidur sekamar pada malam itu. Berimpitan laksana sarden di dalam kaleng. 

Ada untungnya tidur begitu. Bisa membantu menahan tusukan hawa dingin Tana Toraja.

Malam berlalu hening dalam lelap tidur. Kami pasti terlalu lelah di perjalanan.

Aku terbangun oleh gemercik air di kamar mandi. Rupanya istriku sudah lebih dulu bangun. Dia sedang cuci muka.

Kulirik kedua anak gadis kami. Mereka masih lelap dalam selimut.

Aku turun dari ranjang. Melangkah menuju teras belakang kamar. 

Pemandangan terbuka ke arah Buntu Burake. Di puncaknya tampak jelas patung Yesus Kristus Raja memberkati kota Makale. 

Terasa damai di bawah naungan kedua tangan-Nya.

"Sudah ke resepsionis?  Ngurus perpanjangan waktu nginap?" Istriku tiba-tiba sudah berdiri di belakangku. 

Kami memang berencana menambah hari tinggal di Tana Toraja. Sebab sekalian hendak merayakan Natal di Gereja Katolik Makale.

"Ah, belum. Aku ke bawah bentar, ya." 

Aku bergegas menuruni tangga ke lobi. Langsung menuju meja resepsionis.

"Selamat pagi, Bapa, " sapa resepsionis pagi itu. Ramah. Dia seorang gadis muda. Dari logat bicaranya, pasti gadis Toraja asli.

"Pagi. Nona, aku minta tolong perpanjangan waktu nginap. Bisa?"

"Bisa, Bapa. Kita atas nama siapa, Bapa."

"Poltak."

"Ah, Bapa Poltak!" Gadis resepsionis itu setengah berteriak, agak terkejut.  Segera dia memeriksa buku tamu. Buku tulis ukuran folio.

"Ah, kapan Bapa Poltak chek in?" tanyanya menyelidik. Ada nada heran.

"Tadi malam. Pukul sepuluh."

"Kenapa aku tidak tahu, eh?" tanyanya bingung.

"Tadi malam resepsionisnya bukan nona."

"Aku resepsionis tadi malam, Bapa." Gadis resepsionis makin bingung.

"Bukan. Tapi bapa tua dalam foto itu." Aku menunjuk pada foto pada dinding di belakang resepsionis.

Gadis resepsionis itu memalingkan wajahnya. Menoleh ke arah foto di belakangnya. 

Lalu dengan cepat berbalik lagi menatap tepat ke mataku. Air mukanya tampak pucat-pasi.

"Maaf, Bapa. Itu tak mungkin. Beliau Bapa Johanis. Sudah meninggal tahun lalu. Tanggal duapuluh Desember, malam." Suaranya rendah, setengah berbisik, bergetar.

Aku diam terpaku seperti tunggul kayu. Tak percaya. Hari ini tanggal 21 Desember. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun