Sejenak kemudian. Lelaki tua itu menyodorkan dua kunci kamar. Nomor 211 dan 212. Berarti di lantai dua.
"Terimakasih, Pak."
Lelaki tua itu tak menjawab. Hanya tersenyum simpul. Pelit kata, hemat senyum.
Sempat aku melirik foto ukuran besar yang tergantung di dinding belakang resepsionis itu. Foto pasangan suami-istri lansia.
"Ah, pemilik hotel merangkap resepsionis," bisikku dalam hati. Lelaki tua dalam foto itu kini sedang berdiri di belakang meja resepsionis.
Aneh, tak ada seorangpun room boy di malam itu. Jadi koper-koper dan tas-tas kami angkat sendiri naik tangga ke lantai dua.
Hotel itu bangunan tua. Tercirikan dari kunci pintu kamar. Bukan kartu elektronik. Tapi anak kunci besi.
"Kita berempat tidur sekamar saja malam ini," usul istriku. Kutatap wajahnya. Sebab itu bukan kebiasaan kami.
Sedikit rona tak nyaman tampak di air muka istriku. Isyarat jangan membantahnya.
Jadilah kami berempat tidur sekamar pada malam itu. Berimpitan laksana sarden di dalam kaleng.Â
Ada untungnya tidur begitu. Bisa membantu menahan tusukan hawa dingin Tana Toraja.