Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Pengalaman Pertama Naik Bus Malam

5 September 2022   07:50 Diperbarui: 5 September 2022   14:35 1959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bus malam (Foto: antarafoto/rahmad via kompas.com)

Sejak kecil Poltak (pseudonim) sudah tahu ada bus malam.  Sewaktu kecil di Panatapan (pseudonim), Toba dia sering melihat armada dua perusahan bus penumpang melintas senja atau subuh hari  di jalan raya trans-Sumatera.  

Ada bus ALS, Antar Lintas Sumatera, perusahaan angkutan penumpang yang berdiri tahun 1966 di Kotanopan, Mandailing Natal, Kemudian hari kantor pusatnya pindah ke kota Medan. 

Lalu ada bus ANS, Anas Nasional Sejahtera, perusahaan yang didirikan oleh Anas Sutan Jamaris tahun 1962 di Bukittinggi.  

Dua perusahaan oto bus itu dulu merajai rute antar kota propinsi di  Sumatera.  Sekarang sudah ekspansi juga ke kota-kota besar di Pulau Jawa.

Dalam pikiran Poltak kecil tahun 1960-an perjalanan bus malam hari itu sesuatu yang menarik.  "Enak juga," pikirnya, "dari Pekanbaru tidur nyenyak, bangun pagi   sudah ada di Medan." Cukup dengan tidur malam, sudah sampai di tujuan. Hebat, kan?

Tapi naik bus malam pada masa itu jauh dari jangkauan kehidupan Poltak. Paling jauh dia naik bus ke Siantar, atau Tanahjawa, atau Kisaran. Itu rute perjalanan siang hari semua, kalau naik bis dari Pantapan.

Jadi, Poltak memendam keinginannya naik bus malam. Menjadi cita-cita yang terlupakan, tapi semayam di dasar kalbu. Lha, kok terkesan macam perkara cinta, ya.

***

Sampai  suatu hari belasan tahun kemudian. Tepatnya tahun 1986. Bukan di Toba tapi di Pulau Jawa. Pada status Poltak sebagai BTL hanyut.

Waktu itu Poltak harus menghadiri wisuda Benget (pseudonim), adiknya di sebuah PTN besar di Yogyakarta. Cita-cita yang terlupakan ngambang dari dasar kalbu, maka Poltak memilih naik bus malam ke Yogya. Pilihan ini berjodoh pula dengan isi dompetnya yang enggak tebal juga enggak tipis. Gak tega bilang pas-pasan.

Maka pada hari H, Poltak berangkat dari rumah kos, menyeberangi  Ciliwung ke pool bus "Limas Expres" (Limex) di Sukasari. Nyebrang itu jalan kaki lewat jembatan gantung, ya. Bukan berenang.

Pilihan Poltak waktu itu bus eksekutif. Susunan bangku model reclining seat dua di kiri dua di kanan. Ada fasilitas AC dan kamar kecil di belakang. Kerenlah, waktu itu. Tak kalah dari kabin kapal terbang "Mandala" tahun 1980.

Bus dijawalkan berangkat dari Bogor pukul 14.00 WIB, lewat Cibinong dan Terminal Pulogadung. Sebab mesti menaikkan penumpang juga di dua tempat tersebut terakhir. 

Sepuluh menit sebelum bus berangkat, seorang perempuan dan lelaki muda naik ke atas bus. Jalan clingak-clinguk di gang lalu berhenti tepat di samping Poltak.

"Bangkunya di sini, dek." Lelaki muda itu menunjuk bangku kosong, dekat jendela, di samping kiri Poltak.

"Maaf, mas, saya duduk di situ." Perempuan tadi minta celah untuk menyusup ke bangkunya.  

Poltak adalah gentlemen Batak. Dia langsung berdiri dari duduknya, mempersilahkan perempuan muda itu duduk.

"Terimakasih," kata perempuan itu.

"Dek, hati-hati di jalan, ya. Salam untuk bapak dan ibu," kata lelaki muda.

"Inggih, mas," balas perempuan itu sambil tersenyum manis. Bukan kepada Poltak, tapi kepada lelaki muda itu.

"Mas, saya titip, ya, Mas," tiba-tiba lelaki itu memberi amanah kepada Poltak.

"Oh, iya, baik, Mas." Poltak menerima amanah itu tanpa pikir panjang. Kan, gentlemen Batak.

"Ya, Tuhan. Kenapa pula aku harus ketitipan istri orang. Mana cantik pula." Poltak baru merasa berat hati saat bus "Limex" mulai bertolak ke arah Cibinong.

Poltak memperhatikan wajah perempuan itu sejenak. "Usianya belum genap duapuluh. Kira-kira," Poltak membathin, "Mungkin kawin muda."

"Ke Yogya, dek?" Poltak membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan bodoh. Ini kan bukan bus jurusan Medan, Poltak dodol?

"Inggih, Mas." Jawaban bodoh karena pertanyaannya juga bodoh.

"Oh, sama kita, dek." Tanggapan unfaedah yang tambah bodoh.

 "Oh, inggih." Bodoh bekelanjutan.

Setelah itu dua orang bodoh yang duduk bersisian diam dengan pikiran-pikiran bodohnya.

Tapi ghalibnya begitulah. Para penumpang bus yang saling asing cenderung pamer kebodohan untuk sekadar memecah kebekuan. "Panas banget, ya," kata seorang lelaki yang berkeringat kepada seorang perempuan asing yang duduk di sampingnya di dalam bus PPD, di satu siang yang terik banget di Jakarta.  "Gak!" balas perempuan itu judes sambil kipas-kipas kepanasan.  

Cibinong telah lewat, Pulogadung juga telah lewat. Tanpa suatu kesan berarti.

Bus melaju menembus jalan raya Bekasi, terus ke Cikarang, Karawang,  lalu Cikampek dan kemudian Sukamandi Subang. 

Di tempat tersebut terakhir, di remang senja, Poltak terpukau oleh hamparan persawahan mahaluas di sebelah kiri jalan. Kelak, duapuluh empat tahun kemudian,  hamparan persawahan itu menjadi bagian dari sejarah hidupnya. Tapi itu cerita lain, sih.

Bus berhenti di rumah makan Kota Sari, di tepi jalan raya Pantura, Subang. Penumpang diminta turun semua untuk sembahyang, makan malam, dan buang air.

"Kita makan malam dulu, mbak." Poltak mengajak turun isteri orang yang dititipkan padanya. Basa-basi timur. Gak adalah rumusnya Poltak nraktir istri orang. Enak di suaminya, dong.

"Monggo, Mas," balas istri orang itu. Cara orang Jawa menampik tawaran basa-basi. 

Begitulah. Poltak turun dari bus, kencing, lalu memesan seporsi pecel lele di warung seputar parkiran.  Enak. Pakai lele mati. 

Poltak tak mikirlah soal istri orang yang dititipkan padanya. Ngapain juga mikirin istri orang makan apa. Itu kan urusan suaminya, ya.

"Sudah makan, mbak?"

"Sampun, Mas."

Ya, sudah. Basi-basi unfaedah tapi tetap mesti dilakoni. Katanya adat orang timur. Adat kok gak guna, ya.

Perjalanan malam ke Yogya dilanjutkan. Tak ada yang bisa dilihat di luar bus yang melaju kencang, kecuali lampu-lampu rumah dan jalanan di desa-desa dan kota-kota yang dilewati. 

Jarum jam merangkak ke angka sepuluh. Celoteh penumpang menghilang. Senyap. Penumpang mulai beranjak tidur atau pura-pura tidur. Yang terakhir ini biasanya modus penumpang merangkap copet.

Perempuan istri orang, titipan suaminya itu, tampak sudah tertidur. Kepalanya menyender ke kaca jendela bus.

"Aman," bisik Poltak dalam hati, "inilah kesempatanku."

Poltak tersentak dari lelapnya saat sesuatu menimpa bahu kirinya. Poltak spontan menoleh ke kiri. Bah, kepala istri orang, titipan suaminya itu, kini terkulai pasrah di bahunya. 

"Aduh. Bagaimana ini." Poltak bingung. Didorong balik ke tempat semula, kok ya eman-eman. Dibiarkan begitu adanya, kok ya terasa berat. Belum lagi mungkin ada risiko kena aluran iler.

Tapi Tuhan memang Maha Tahu kegundahan hati umat-Nya yang lemah iman. Saat bus berbelok tajam ke kiri, kepala istri orang itu terlontar kembali ketempat semula. Ke kaca jendela bus.

Hal itu bisa terjadi karena atas tuntunan Tuhan, bus "Limex" sedang melewati tikungan-tikungan tajam di Alas Roban, Kabupaten Batang. Ah, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, dan Pekalongan sudah terlewati rupanya.

Poltak tidak bisa tidur lagi. Sesuai amanah, dia harus menjaga istri orang. Menjaga agar kepala perempuan itu tak menyender lagi ke bahunya. Satu kali tak sengaja, tak apalah. Kalau berkali-kali, bahaya itu. Bisa jadi sama-sama suka. Tresna jalaran saka kulina. Bah, amit-amit jadi pebinor.

Poltak tetiba teringat cerita-cerita tentang para muda-mudi penumpang kereta api klutuk rute Medan-Siantar. Kata yang punya cerita, lazim gadis dan jejaka belum kenalan saat naik dari Stasiun Medan. Empat jam kemudian turun bersama di Stasiun Siantar dan langsung jalan berdua ke rumah penghulu. 

Itu cerita buras yang asyik didengar. Sesuatu yang mungkin saja terjadi di bus malam. Tapi tidak kali ini. Poltak tahu etikalah.

Batang, Kendal, Semarang, Ungaran, Bawen, Ambarawa, Secang, Magelang telah lewat. Bus melaju lancar menuju Muntilan. 

Perempuan istri orang di samping Poltak bangun. Menggosok-gosok matanya sebentar. Lalu menyibak tirai jendela bus dan menatap ke luar.

Di timur tampak puncak Merapi merah menyala diterpa sinar matahari yang menjelang terbit. Puncak itu tampak seperti obor raksasa yang menerangi lereng dan lembah di bawahnya. Menakjubkan.

"Merapi itu indah sekali, Mbak." Poltak tak bisa menahan diri untuk memuji keindahan alam yang tersaji di depan matanya.

Perempuan istri orang itu hanya menanggapi dengan sebuah senyum di pagi hari. "Mungkin yang dipikirkannya bukan keindahan. Tapi bencana saat Merapi meletus," pikir Poltak. Mencoba mahfum.

***

"Kantor Pos! Persiapan!" Kondektur bus berteriak mengingatkan. Ah, sudah tiba di Yogya, kota pelajar di masa itu.

Poltak harus turun di Kantor Pos Yogya. Benget, adiknya sudah berjanji akan menjemputnya di situ. 

Poltak segera bangkit dari duduknya. Bersiap untuk turun. 

"Saya duluan, ya, Mbak."

"Aku juga turun di sini, Mas."

Bah. Perempuan istri orang itu juga ternyata turun di Kantor Pos.

Poltak undur untuk mempersilahkan perempuan itu turun lebih dulu, saat bus berhenti di seberang gedung Kantor Pos Yogya.

Turun dari bus, perempuan itu setengah berlari menghampiri sepasang orangtua yang rupanya datang menjemputnya.  Poltak clingak-clinguk mencari bayangan Benget. Anak itu belum tiba rupanya.

Lamat-lamat, Poltak mendengar pembicaraan perempuan muda tadi dengan kedua orangtuanya.

"Piye liburanmu nang mBogor, Nduk."

"Apik, Bu. Eh, Mas Joko wis duwe bojo lho, Bu. Uuayu tenan."

"Oala, bentar lagi ibu bakal mantu. Kamu bakal punya ipar, Nduk."

"Bah, "pikir Poltak separuh sesal. "Ternyata perempuan itu adik lelaki muda kemarin. Kenapa pula aku pikir itu istrinya, ya."

"Bang! Sudah sampai kau rupanya!" Benget tiba-tiba muncul, berteriak, dan memeluk Poltak.

Aih, jantan terpeluk jantan. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun