Di tempat tersebut terakhir, di remang senja, Poltak terpukau oleh hamparan persawahan mahaluas di sebelah kiri jalan. Kelak, duapuluh empat tahun kemudian, Â hamparan persawahan itu menjadi bagian dari sejarah hidupnya. Tapi itu cerita lain, sih.
Bus berhenti di rumah makan Kota Sari, di tepi jalan raya Pantura, Subang. Penumpang diminta turun semua untuk sembahyang, makan malam, dan buang air.
"Kita makan malam dulu, mbak." Poltak mengajak turun isteri orang yang dititipkan padanya. Basa-basi timur. Gak adalah rumusnya Poltak nraktir istri orang. Enak di suaminya, dong.
"Monggo, Mas," balas istri orang itu. Cara orang Jawa menampik tawaran basa-basi.Â
Begitulah. Poltak turun dari bus, kencing, lalu memesan seporsi pecel lele di warung seputar parkiran. Â Enak. Pakai lele mati.Â
Poltak tak mikirlah soal istri orang yang dititipkan padanya. Ngapain juga mikirin istri orang makan apa. Itu kan urusan suaminya, ya.
"Sudah makan, mbak?"
"Sampun, Mas."
Ya, sudah. Basi-basi unfaedah tapi tetap mesti dilakoni. Katanya adat orang timur. Adat kok gak guna, ya.
Perjalanan malam ke Yogya dilanjutkan. Tak ada yang bisa dilihat di luar bus yang melaju kencang, kecuali lampu-lampu rumah dan jalanan di desa-desa dan kota-kota yang dilewati.Â
Jarum jam merangkak ke angka sepuluh. Celoteh penumpang menghilang. Senyap. Penumpang mulai beranjak tidur atau pura-pura tidur. Yang terakhir ini biasanya modus penumpang merangkap copet.