Perempuan istri orang, titipan suaminya itu, tampak sudah tertidur. Kepalanya menyender ke kaca jendela bus.
"Aman," bisik Poltak dalam hati, "inilah kesempatanku."
Poltak tersentak dari lelapnya saat sesuatu menimpa bahu kirinya. Poltak spontan menoleh ke kiri. Bah, kepala istri orang, titipan suaminya itu, kini terkulai pasrah di bahunya.Â
"Aduh. Bagaimana ini." Poltak bingung. Didorong balik ke tempat semula, kok ya eman-eman. Dibiarkan begitu adanya, kok ya terasa berat. Belum lagi mungkin ada risiko kena aluran iler.
Tapi Tuhan memang Maha Tahu kegundahan hati umat-Nya yang lemah iman. Saat bus berbelok tajam ke kiri, kepala istri orang itu terlontar kembali ketempat semula. Ke kaca jendela bus.
Hal itu bisa terjadi karena atas tuntunan Tuhan, bus "Limex" sedang melewati tikungan-tikungan tajam di Alas Roban, Kabupaten Batang. Ah, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, dan Pekalongan sudah terlewati rupanya.
Poltak tidak bisa tidur lagi. Sesuai amanah, dia harus menjaga istri orang. Menjaga agar kepala perempuan itu tak menyender lagi ke bahunya. Satu kali tak sengaja, tak apalah. Kalau berkali-kali, bahaya itu. Bisa jadi sama-sama suka. Tresna jalaran saka kulina. Bah, amit-amit jadi pebinor.
Poltak tetiba teringat cerita-cerita tentang para muda-mudi penumpang kereta api klutuk rute Medan-Siantar. Kata yang punya cerita, lazim gadis dan jejaka belum kenalan saat naik dari Stasiun Medan. Empat jam kemudian turun bersama di Stasiun Siantar dan langsung jalan berdua ke rumah penghulu.Â
Itu cerita buras yang asyik didengar. Sesuatu yang mungkin saja terjadi di bus malam. Tapi tidak kali ini. Poltak tahu etikalah.
Batang, Kendal, Semarang, Ungaran, Bawen, Ambarawa, Secang, Magelang telah lewat. Bus melaju lancar menuju Muntilan.Â
Perempuan istri orang di samping Poltak bangun. Menggosok-gosok matanya sebentar. Lalu menyibak tirai jendela bus dan menatap ke luar.