"Itu berarti congok!" tukas Poltak tanpa dosa. Semua tergelak. Â Jonder sampai tersedak.
Ramai celoteh dan gelak-tawa. Makan bersama di siang hari itu menjadi arena suka-ria. Â
Mulut-mulut kecil anak-anak bekerja cepat. Mengunyah dan menelan tanpa jeda. Menandaskan nasi di periuk, arsik mujair di belanga, dan sayur daun singkong di panci.
"Anak-anak, ayo, berterimakasih sekalian pamit pada ompung baoa dan ompung boru. Kita bermain dulu di pantai. Â Setelah itu pulang."
"Olo, Gurunami." Â Anak-anak berebutan menyalami ayah dan ibu mertua Guru Arsenius serta Tulang Dabutar. "Mauliate, Ompung." Â "Mauliate, Tulang." Anak-anak mengucapkan terimakasih. Â "Nauli, amang. Nauli, inang. Horas ma da." Â Mertua Guru Arsenius mendoakan anak-anak selamat semua.
Anak-anak menghambur seperti sekumpulan gelatik ke pantai Tomok. Â Pantai yang masih asli. Tidak berpasir. Â Tapi asri oleh rerumputan, semak rendah, dan aneka perdu kecil berbunga.Â
"Ayo, mandi-mandi!" Jonder memang provokator. Dengan cepat melepas baju lalu, masih mengenakan celana pendek,  terjun  ke air danau. Â
Anak-anak laki lain terprovokasi.  Ikut terjun ke dalam danau.  Kecuali Poltak yang tak tertarik mandi siang bolong,celananya basah, Alogo yang tak ingin  dan Bistok yang tak bisa berenang. Â
"Hei! Anak-anak! Â Jangan ke tengah! Di pinggir saja!" Guru Arsenius berteriak mengingatkan.Â
Dia agak khawatir. Â Murid-muridnya itu belum punya pengalaman berenang di danau berombak. Mereka hanya terbiasa berenang di sungai, tebat, atau di pea, situ.
Anak-anak perempuan memetik bunga-bunga liar di tepi pantai. Â Mereka tak tertarik mandi atau berendam di air danau.