"Mengapa kau harus menjadi pastor," sesalnya dalam hati.
"Ayo, Poltak. Â Kita tangkap kupu-kupu itu." Â Berta memecah keheningan.
"Janganlah. Â Kupu-kupu itu indah dipandang. Bukan dipegang."
"Oh. Iya ...." Terdiam sejenak. "Apakah mereka punya rumah, Poltak?" lanjutnya.
"Punya. Â Seluas Pulau Samosir."
"Oh ...."
"Kau tahu, Berta? Â Kupu-kupu itu mahluk terhebat di dunia. Lihat, kepak sayapnya lembut, kan? Tapi itu bisa memicu topan dahsyat di Lautan Hindia."
"Betulkah?" Berta terperangah. "Terangkanlah, Poltak" Â Sinar mata Berta penuh minat dan tanya.
Poltak menghela nafas. Panjang, dalam. "Tak bisa kujelaskan, Berta. Tapi begitulah keyakinanku."Â
Tatapan Berta masih menyelam ke pelupuk mata Poltak. Menunggu penjelasan lanjut.
"Seperti usapan lembut nenek di kepalaku, Berta. Itu bikin semangatku berkobar." Poltak memberi contoh tapi tidak yakin.