"Bah, sakti kalipun! Bagaimana kisahnya, Tulang." Alogo tak bisa menutupi rasa kagumnya.
"Dia cerdas. Strategi perangnya aneh tapi jitu. Dia tahu pantangan besar laki-laki Batak. Pantang melihat kemaluan laki-laki lain. Kalau sampai melihat, bah, bisa sial hidupnya tujuh turunan."
Semua tertawa geli. Anak laki-laki terbahak-bahak, anak perempuan terkikik-kikik. Â
"Itu benar, hahaha ...," Tulang Dabutar tak bisa pula menahan tawa. "Kalau pergi perang, Panglima Meraji dan pasukannya hanya membebatkan sehelai ulos di badan. Â Tanpa senjata."
Anak-anak menyimak cerita Tulang Dabutar dengan khidmad. Â Mulut Jonder sampai ternganga.
"Begitu musuh mendekat, panglima dan semua pasukannya meloloskan ulos sehingga telanjang bulat. Bugil! Melihat laki-laki bugil, musuh langsung tutup mata, lalu berbalik lari tunggang-langgang. Takut sial tujuh turunan kalau sampai melihat kemaluan sesama laki-laki."
"Betul begitu, Tulang?" tanya Poltak percaya tak percaya.
"Yah, begitulah cerita orangtua. Â Tulang sendiri kan tak ikut perang waktu itu."
"Tapi itu benar, Tulang, "Adian  menyela.  "Anak perempuan di pancuran kampung kami langsung lari tunggang-langgang kalau Jonder buka celana." Â
"Bah, Adian! Babiat kau!" Jonder mengepalkan tinju ke arah Adian. Â Semua tertawa geli.
"Sudah, sudah!" Guru Arsenius menenangkan murid-muridnya. Â Tapi, tak kuasa menahan geli, dia terkekeh-kekeh juga.