Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Minyak Goreng, Revolusi Dapur, dan Takluknya Pengetahuan Asli

24 April 2022   21:00 Diperbarui: 26 April 2022   05:05 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi makanan gorengan (Foto: TribunStyle.com/Instagram @dolandanjajan)

"IQ kita boleh rendah, tapi kita tak boleh dungu, sebab kita bukan keledai." -Felix Tani

Beberapa hari lalu seorang rekan perpesanan menyampirkan utas Average IQ by Country 2022 (worldpopulationreview.com) di grup. Dia mau mengabarkan rerata angka IQ orang Indonesia tahun 2022.

Ternyata rerata IQ kita adalah 78.49, urutan ke 130 dari 199 negara. Sama persis dengan Timor Leste dan Papua New Guinea. 

Bersama Timor Leste, kita urutan terbawah untuk skala ASEAN. Tapi masih lebih tinggi dibanding beberapa negara Timur Tengah seperti Palestina (77.69), Saudi Arabia (76.36), dan Yaman (62.86). 

Angka rerata IQ tertinggi adalah Jepang (106.48) dan terendah Nepal (42.99). Di ASEAN, angka IQ tertinggi diraih Singapura (105.89, peringkat 3 dunia).

Karena IQ itu soal kecerdasan intelektual, maka dia punya hubungan kausatif dengan sistem pendidikan. Semakin baik sistem pendidikan suatu negara, semakin dimungkinkan peningkatan IQ warganya. Kira-kira begitu.

Bicara tentang sistem pendidikan, tentu tak hanya soal pendidikan formal (sekolah) dan non-formal (kursus). Tapi juga pendidikan informal yaitu sosialisasi dalam lingkup keluarga, komunitas, dan masyarakat.

Kesadaran, minat, penilaian, pemahaman, dan penerimaan terhadap sesuatu hal, entah itu gagasan atau barang, tidak hanya diperoleh lewat pertukaran -- atau mungkin transfer (?) -- pengetahuan dalam pranata sekolah atau kursus. Tapi juga diperoleh dalam pranata keluarga, komunitas, dan masyarakat. 

Tentu ada bedanya. Sekolah/kursus membagikan pengetahuan ilmiah atau sains. Sedangkan keluarga membagikan pengetahuan asli (pengetahuan/kearifan lokal). 

Dua jenis pengetahuan itu, sains dan pengetahuan asli, selalu bertarung merebut dominasi pengaruh dalam masyarakat. 

Lalu apa hubungannya dengan isu minyak goreng yang kini sedang mendidih lagi? 

Saya ingin berdiskusi dengan meletakkan isu itu dalam konteks pertarungan sains dan pengetahuan asli. Pertarungan yang mengambil tempat di dapur warga Indonesia, pemilik rerata IQ 78.49 itu.

"Revolusi Dapur" Keluarga Indonesia

Pengutipan angka IQ orang Indonesia yang rendah itu, dan pengangkatan isu minyak goreng, bukan dalam rangka mencari hubungan kausatif anrara keduanya.

Bukan, bukan seperti itu. 

Sebab harus diakui, minyak goreng mengandung unsur gizi yang baik untuk kesehatan tubuh termasuk otak. 

Juga tak ada penelitian ilmiah yang membuktikan, misalnya, tingkat konsumsi minyak goreng berkorelasi negatif dengan IQ manusia.

Kaitannya hanya sebatas ini: IQ orang Indonesia yang rendah itu, suka tidak suka, telah menjadi sebuah konteks pertarungan yang mempermudah sains menaklukkan pengetahuan asli.

Dengan IQ rendah, orang Indonesia tidak cukup mampu bersikap kritis pada produk sains. Juga tidak cukup kreatif menemukan, atau menemukan kembali, produk pengetahuan asli untuk menahan laju invasi produk sains.

Mari kita ulik soal ini pada kasus minyak goreng sawit sebagai produk sains.

Begini. Sampai tahun 1970-an, kegiatan masak-memasak di dapur mayoritas rakyat Indonesia, terutama di daerah pedesaan, masih didominasi teknik/teknologi memasak produk pengetahuan lokal.

Rebus (tanak), kukus, dan panggang (bakar), kita singkat "rekupang", adalah tiga teknik utama yang diwariskan sebagai pengetahuan asli turun-temurun.

Teknik goreng waktu itu sudah ada, tapi belum dominan. Minyak goreng yang digunakan juga minyak kelapa, bukan sawit. Walau saat itu sudah ada industri minyak kelapa, warga umumnya masih menggunakan minyak kelapa hasil industri kecil/rumahan. 

"Revolusi Dapur" boleh dikata bermula di paruh pertama 1980-an. Ditandai dengan mulai meningkatnya produksi dan meluasnya pasar minyak goreng industri. Pertama dipelopori produk Bimoli, lalu Filma, kemudian aneka merek lain. Pertumbuhan produksi dan pasar minyak goreng itu meningkat drastis seiring pertumbuhan perkebunan sawit.

Minyak goreng sawit kemudian menjadi produk ilmu-pengetahuan dan teknologi atau sains modern yang sukses menginvasi dapur keluarga Indonesia sejak 1980-an.

Teknik goreng tampil sebagai moda dominan kegiatan masak-memasak. Hampir semua jenis bahan masakan bisa diolah dengan teknik ini. Nasi goreng, ikan goreng, sayur tumis/goreng, daging goreng (ayam, burung, dendeng), mie goreng, dan aneka panganan/kue-kuean. 

Itulah "Revolusi Dapur", proses minyak goreng sawit dan teknik goreng menginvasi dapur warga dan berhasil menjadi teknik masak dominan.

Revolusi ini tak hanya mengubah cara masak warga Indonesia, tapi juga menanamkan nilai baru tentang kualitas dan rasa masakan. Ke dalam benak warga Indonesia, industri minyak goreng berhasil menanamkan nilai bahwa masakan bermutu tinggi, enak dan bergizi, adalah masakan yang digoreng. 

Juga berhasil ditanamkan nilai efisiensi dalam kerja memasak. Menggoreng pakai minyak goreng adalah cara yang paling efisien: mudah, cepat, dan bersih. Cara masak yang menggunakan "akal sehat", bunyi iklan salah satu merek minyak goreng.

"Revolusi Dapur" itu kemudian diakselerasi dan diperluas oleh menjamurnya bisnis makanan cepat saji berbasis gorengan seperti ayam goreng dan aneka nugget sejak akhir 1980-an.

Begitulah. "Revolusi Dapur" telah menjadikan minyak goreng (sawit), teknik goreng, dan (makanan) gorengan sebagai unsur dominan dalam aktivitas dapur keluarga Indonesia. Tanpa minyak goreng, bukan dapur namanya. Tanpa menggoreng, bukan memasak namanya. Tanpa gorengan, bukan menu masakan (makanan) namanya.

Takluknya Pengetahuan Asli

"Revolusi Dapur" adalah pertarungan antara sains dan pengetahuan asli, dengan kemenangan di pihak sains. Minyak goreng telah tampil menjadi salah satu bahan pokok (sembako) pangan yang wajib ada di dapur warga Indonesia. Tanpa minyak goreng, dapur bukanlah dapur.

Sedemikian kuatnya posisi minyak goreng di dapur, sehingga teknik masak asli yaitu "rekupang" menjadi periferal. Teknik goreng dikembangkan sedemikian rupa sehingga seolah tanpa batas. Sementara teknik asli stagnan, tidak berkembang, itu ke itu saja.

Pada titik ini, dengan sensasi rasa yang dihasilkan teknik goreng, industri minyak goreng sawit telah menguasai lidah warga Indonesia.

Itu terindikasi dari sekurangnya empat hal berikut.

Pertama, saat minyak goreng habis di dapur, ibu-ibu langsung kalang-kabut beli ke warung sembako atau toko swalayan.

Kedua, jika menu yang disajikan di rumah minus gorengan, lidah anggota rumah tangga langsung menggugat.

Ketiga, saat minyak goreng langka atau lenyap dari pasaran, lidah tajam warga langsung menyalahkan pemerintah yang dianggap tak mampu menjamin ketersediaan sembako.

Keempat, saat harga minyak goreng melonjak 100 persen, sekali lagi lidah tajam warga mengecam pemerintah yang dianggap tak mampu mengendalikan harga.

Perhatikan. Saat minyak goreng hilang dari pasaran, lidah tajam warga tak digunakan menekan pengusaha industri minyak goreng. Tapi mengecam dan mengkritik pemerintah. Bahkan menuntut presiden turun dari kursinya.

Penetapan HET minyak goreng Rp 14.000/liter dianggap biang keladi. Katanya, pengusaha minyak goreng merugi pada harga itu. Pembandingnya harga CPO dan minyak goreng dunia yang jauh lebih tinggi. Sehingga ekspor menjadi lebih rasional. 

Fakta bahwa warga cenderung mengecam pemerintah di satu pihak, dan memaklumi pengusaha di lain pihak, adalah indikasi penguasaan lidah warga oleh pengusaha minyak goreng. 

Secara cerdik pengusaha telah menggunakan lidah warga untuk menyerang pemerintah. Hasilnya, pemerintah mencabut aturan HET minyak goreng. 

Alhasil minyak goreng kembali mengalir ke pasaran, tapi dengan harga melonjak 100 persen. Warga sekali lagi menjerit. Pengusaha minyak goreng terbahak-bahak.

Sains telah menaklukkan pengetahuan asli. Minyak dan teknik goreng telah mensubordinasi teknik "rekupang" di dapur warga. Itulah soalnya.

Saat minyak goreng hilang dari pasaran, warga bukannya kreatif kembali ke teknik "rekupang", tapi memperpanjang umur pakai jelanta sambil merutuki pemerintah.

Warga sekian lama telah mengglorifikasi minyak goreng, sedemikian rupa sehingga teknik "rekupang" dianggap marginal dan tak bisa mensubstitusi teknik goreng.

Warga lupa pada fakta bahwa, pertama, nenek moyang kita dulu survive tanpa minyak goreng. 

Kedua, tidak ada manusia yang mati atau sedikitnya sakit hanya karena tidak mengonsumsi makanan gorengan.

Ketiga, unsur terpenting dalam susunan pangan orang Indonesia adalah nasi atau beras yang direbus, bukan lauk yang digoreng. (Juga bukan bumbu semacam cabai dan bawang yang kerap mendadak langka di pasar).

Takluknya pengetahuan asli "rekupang" oleh sains "goreng" membuat warga Indonesia berasa "kiamat dapur" saat minyak goreng hilang dari pasaran, atau saat harganya melonjak jadi lipat dua.

Pada titik ini, apakah berlebihan jika ada kecurigaan bahwa IQ 78.49 itu tak cukup membuat warga Indonesia sadar lidahnya telah dikuasai pengusaha minyak goreng? Juga bahwa warga telah kehilangan daya kreasi untuk menemukan kembali "rekupang" sebagai solusi?

Solusi Revitalisasi "Rekupang"

Merespon hilangnya, dan kemudian, melonjaknya harga minyak goreng di pasaran, pemerintah sudah menerbitkan larangan ekspor CPO dan minyak goreng. Itu berlaku mulai 28 April 2022 sampai waktu yang tak ditentukan.

Pemerintah, di satu sisi, rupanya hendak memberi pelajaran nasionalisme kepada pengusaha sawit/CPO/minyak goreng. Bahwa stabilitas ekonomi nasional itu tak bisa ditawar.

Di sisi lain, sebagai solusi dari sisi penawaran, pemerintah hendak memaksa pengusaha mengolah lebih banyak CPO menjadi minyak goreng. Sehingga pasar domestik akan mengalami situasi kelebihan penawaran. Dengan demikian, mekanisme pasar akan menekan harga minyak goreng hingga mendekati tingkat semula.

Tapi itu solusi dari sisi penawaran. Penting juga sinergi dengan solusi dari sisi permintaan.

Di sisi permintaan, warga konsumenlah yang harus menginisiasi solusi. Revitalisasi pengetahuan asli "rekupang" di dapur warga dapat menjadi pilihan strategis.

Solusi ini berangkat dari dua keyakinan dasar. Pertama, teknik "rekupang" sejatinya menghasilkan makanan yang lebih sehat, bergizi, dan enak.

Kedua, tingkat konsumsi minyak goreng atau makanan gorengan oleh warga sudah melewati batas kewajaran, juga cenderung tak sehat, sehingga perlu ditekan serendah mungkin.

Revitalisasi "rekupang" akan mengurangi tingkat konsumsi minyak goreng. Angka kelebihan penawaran akan semakin besar, sehingga harga akan semakin tertekan.

Uang hasil pengurangan konsumsi minyak goreng bisa dialihkan untuk anggaran pembelian telur, ikan dan daging. Ini lebih penting ketimbang minyak goreng.

Mungkin benar rerata IQ kita 78.49. Tapi itu tak berarti kita sebegitu dungunya sehingga harus menyerahkan lidah ke tangan pengusaha minyak goreng. Tak perlu IQ 150 untuk bisa menegakkan kedaulatan lidah kita. Cukuplah dengan kembali ke "rekupang". 

Terakhir, pemerintah perlu mempertimbangkan pencoretan minyak goreng dari daftar sembako yang harganya diatur pemerintah. Sekalian juga gula dan bawang merah. Ketiga bahan itu cuma pelengkap, bukan bahan utama.

Bahan utama atau pokok, adalah beras, jagung, kedelai, telur, dan daging. Sumber-sumber utama karbohidrat dan protein.

Kalau ragu mencoret, ingatlah sejarah. Belum pernah ada pemerintah yang jatuh karena terpeleset oleh minyak goreng. Tapi pernah ada pemerintah yang ditumbangkan oleh rakyat yang kelaparan. (eFTe)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun