Tapi itu solusi dari sisi penawaran. Penting juga sinergi dengan solusi dari sisi permintaan.
Di sisi permintaan, warga konsumenlah yang harus menginisiasi solusi. Revitalisasi pengetahuan asli "rekupang" di dapur warga dapat menjadi pilihan strategis.
Solusi ini berangkat dari dua keyakinan dasar. Pertama, teknik "rekupang" sejatinya menghasilkan makanan yang lebih sehat, bergizi, dan enak.
Kedua, tingkat konsumsi minyak goreng atau makanan gorengan oleh warga sudah melewati batas kewajaran, juga cenderung tak sehat, sehingga perlu ditekan serendah mungkin.
Revitalisasi "rekupang" akan mengurangi tingkat konsumsi minyak goreng. Angka kelebihan penawaran akan semakin besar, sehingga harga akan semakin tertekan.
Uang hasil pengurangan konsumsi minyak goreng bisa dialihkan untuk anggaran pembelian telur, ikan dan daging. Ini lebih penting ketimbang minyak goreng.
Mungkin benar rerata IQ kita 78.49. Tapi itu tak berarti kita sebegitu dungunya sehingga harus menyerahkan lidah ke tangan pengusaha minyak goreng. Tak perlu IQ 150 untuk bisa menegakkan kedaulatan lidah kita. Cukuplah dengan kembali ke "rekupang".Â
Terakhir, pemerintah perlu mempertimbangkan pencoretan minyak goreng dari daftar sembako yang harganya diatur pemerintah. Sekalian juga gula dan bawang merah. Ketiga bahan itu cuma pelengkap, bukan bahan utama.
Bahan utama atau pokok, adalah beras, jagung, kedelai, telur, dan daging. Sumber-sumber utama karbohidrat dan protein.
Kalau ragu mencoret, ingatlah sejarah. Belum pernah ada pemerintah yang jatuh karena terpeleset oleh minyak goreng. Tapi pernah ada pemerintah yang ditumbangkan oleh rakyat yang kelaparan. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H