Pada titik ini, dengan sensasi rasa yang dihasilkan teknik goreng, industri minyak goreng sawit telah menguasai lidah warga Indonesia.
Itu terindikasi dari sekurangnya empat hal berikut.
Pertama, saat minyak goreng habis di dapur, ibu-ibu langsung kalang-kabut beli ke warung sembako atau toko swalayan.
Kedua, jika menu yang disajikan di rumah minus gorengan, lidah anggota rumah tangga langsung menggugat.
Ketiga, saat minyak goreng langka atau lenyap dari pasaran, lidah tajam warga langsung menyalahkan pemerintah yang dianggap tak mampu menjamin ketersediaan sembako.
Keempat, saat harga minyak goreng melonjak 100 persen, sekali lagi lidah tajam warga mengecam pemerintah yang dianggap tak mampu mengendalikan harga.
Perhatikan. Saat minyak goreng hilang dari pasaran, lidah tajam warga tak digunakan menekan pengusaha industri minyak goreng. Tapi mengecam dan mengkritik pemerintah. Bahkan menuntut presiden turun dari kursinya.
Penetapan HET minyak goreng Rp 14.000/liter dianggap biang keladi. Katanya, pengusaha minyak goreng merugi pada harga itu. Pembandingnya harga CPO dan minyak goreng dunia yang jauh lebih tinggi. Sehingga ekspor menjadi lebih rasional.Â
Fakta bahwa warga cenderung mengecam pemerintah di satu pihak, dan memaklumi pengusaha di lain pihak, adalah indikasi penguasaan lidah warga oleh pengusaha minyak goreng.Â
Secara cerdik pengusaha telah menggunakan lidah warga untuk menyerang pemerintah. Hasilnya, pemerintah mencabut aturan HET minyak goreng.Â
Alhasil minyak goreng kembali mengalir ke pasaran, tapi dengan harga melonjak 100 persen. Warga sekali lagi menjerit. Pengusaha minyak goreng terbahak-bahak.