Tapi sudah nasib calon pastor rupanya dikejar-kejar anak gadis. Â Atau, itu mungkin cobaan? Atau sebaliknya, rejeki? Entahlah.
Seusai kebaktian Tahun Baru, saat muda-mudi menunggu pukul 24.00 WIB tiba, Rauli dituntun Pasuria, sepupunya, menemui Poltak.
"Poltak. Â Ini Rauli, sepupuku dari Siantar." Pasuria memperkenalkan sepupunya itu kepada Poltak.Â
Poltak menyalami Rauli. Keduanya bertukar senyum.
"Poltak ini calon pastor, Rauli. Â Nanti dia sekolah di Seminari Siantar," lanjut Pasuria.
"Seminari itu di seberang sekolahku, Poltak. Di Lapangan Bola Atas," timpal Rauli yang sambil tersenyum. Nada suaranya ceria, ringan, lepas seperti kicau burung prenjak.
Poltak membalas tersenyum, sambil mengangguk. Â "Rauli ini tak sombonglah. Â Cantik pula." Â Poltak membatin.
"Aku gabung dengan teman-teman dulu, ya?" Poltak menghindar sopan.
"Olo. Â Nanti jalan sama kami ya, Poltak," pesan Pasuria, sebelum Poltak beranjak menemui Binsar, Bistok, dan teman-temannya di teras gereja.
Begitulah. Â Saat perjalanan bertahun-baru dimulai pada dinihari 1 Januari 1973, Rauli dan Pasuria menempel pada Poltak. Â
Hal itu menimbulkan sedikit iri hati pada Binsar dan Bistok. Â Dan banyak iri hati pada Tongam. Â Jelas terlihat dari sorot matanya yang seakan menikam Poltak. Â Untunglah malam itu Tahun Baru. Malam penuh maaf.