Rauli terdiam, kagum di hati. Â "Mengapa dia tahu Siantar lebih banyak dari aku," pikirnya.
Acara tahun-baruan muda-mudi di kampung terakhir, Sorlatong, usai beberapa waktu setelah kokok ayam kedua kali. Perut dan kantung Poltak dan teman-temannya sudah penuh dengan kue-kuean. Â Perut serasa kembung oleh kopi, teh, dan sirop.
"Ini sudah pukul berapa, ya," tanya Rauli pada Poltak, sesaat setelah acara usai, sebelum muda-mudi pulang kembali ke rumah masing-masing.
Poltak memegang kupingnya. Â Terasa kecil sekali. Â "Pukul empat pagi," jawabnya. Â Itu perkiraaannya. Â Berdasar selang waktu sejak kokok ayam yang kedua kali dan rasa ukuran telinganya.
"Naposo bulung semua," ketua muda-mudi berbicara, "acara tahun-baruan sudah selesai. Sekarang sudah pukul empat pagi. Terimakasih untuk teman-teman semua. Â Sekarang kita boleh pulang ke rumah masing-masing."
Rauli melirik ke arah Poltak. "Bagaimana cara dia memperkirakan waktu?" Â Dia membatin, takjub, tak habis pikir.
"Aku pulang dulu, ya Rauli, ya Pasuria." Â Poltak pamit.
"Mauliate, Poltak," balas Rauli. "Nanti, kalau kamu masuk Seminari, mainlah ke rumah. Kami tinggal di Lapangan Bola Atas. Dekat dari Seminari," lanjutnya.
"Olo," jawab Poltak singkat. Lalu berbalik, melangkah menghampiri Binsar dan Bistok.
"Poltak! Syalmu! Lupa!" Rauli beteriak.
"Oh, iya." Poltak berbalik sambil menepuk jidat. Menerima kembali syalnya dari tangan halus Rauli.